Orang terpelajar belum tentu cerdas dan orang berpendidikan rendah belum tentu dungu. Sebab bukan pendidikan formal, tapi pengalaman di lapanganlah yang meningkatkan kecerdasan.
Kisah nyata tiga orang sarjana versus seorang tukang sapu ini adalah buktinya. Lima belas tahun lalu, pada suatu pagi, di satu perguruan tinggi di Jabotabek, tiga orang dosen sedang berdiskusi keras di depan sebuah pintu dobel ruang perpustakaan program studi. Mereka sedang bertukar teori tentang cara membuka pintu yang terkunci tanpa menggunakan anak kunci.
Soalnya anak kunci pintu itu hilang. Sementara tukang servis kunci, yang sedang dipabggilkan, belum kunjung datang. Padahal mereka perlu masuk perpustakaan untuk meminjam buku bahan ajar.
Salah seorang dari mereka, yang kebanyakan nonton film spy, mencoba membuka pintu menggunakan peniti. Gagal. Juga dicoba pakai jepit rambut pinjaman dari rekan dosen perempuan. Sampai jepit rambut itu baling, masih gagal juga.
Seorang lainnya mengusulkan ide meledakkan mercon besar di lubang kunci untuk mematahkan pernya. Usul ini dinilai berbahaya karena berisiko meledakkan ruang perpustakaan.
Tiba-tiba Mang Yayat, tukang sapu kantor, datang mendekat. Tiga orang dosen itu menjelaskan duduk perkara. Mang Yayat manggut-manggut. Lalu tiba-tiba dia menabrakkan bahunya ke pintu perpustakaan hingga langsung terbuka menganga.
"Silahkan masuk, Bapak-Bapak."
"Lho, kuncinya rusak. Bagaimana itu?"
"Oh. Itu urusan tukang kunci. Bukan urusan Bapak-Bapak dan saya."
Begitulah. Ketika kecerdasan intelektual tidak bisa menemukan solusi, maka kecerdasan kinetik sering memberikan jalan keluar.
Tak selamanya otak penting. Ada saatnya otot perlu dikedepankan.