Mau tahu derita orang kenthir? Kenthir, kenthir sendiri, sembuh, sembuh sendiri. Tak ada orang yang perduli. Paling juga ngetawaian, sambil nyeletuk, "Dasar orang kenthir."
Berpikir kenthir itu seperti daun kering lepas dari tangkainya. Setiap daun punya alur jatuh layang ke tanah yang tak terpola, sehingga tak pernah bisa ditebak. Semua tergantung arah dan kecepatan angin. Karena itu pikiran orang kenthir tak pernah bisa ditebak. Tidak juga oleh Si Kenthir itu sendiri.
Seperti barusan saja terjadi. Seorang Kompasianer, maksudnya tukang kompas atau palak, kenthir tiba-tiba mampir di Gang Sapi, Jakarta. Lalu, gak ada angin gak ada hujan, membisikkan sebuah kisah skandalucu ke lubang kupingku.
"Eh, kamu tahu, gak. Kompasianer Felix Tani telah menjadi korban Teori Konspirasi." Bibirnya menyonyo melampaui mancung bibir Bu Tedjo.
"Maksudmu?" Tanyaku tak ingin tahu, tapi bohong. Itu pasti gosip provokasi rendahan.
"Begini," dia membetulkan duduknya. "Eh, kamu punya tuak, kah?" Busyet. Mau gosip aja pake tuak segala.
Saya ambil sebotol dari kulkas dan menyodorkan padanya. Langsung ditenggaknya dari mulut botol. Bibir ketemu bibir.
"Harusnya Felix Tani yang memenangi penghargaan Best in Opinion." Suaranya mulai meninggi, emosional. Khasiat tuak mulai bekerja.
"Tapi Min K waktu itu tak ingin Felix Tani yang menang. Alasannya, dia itu Kompasianer kenthir yang doyan ngritik Min K. Takutnya jadi preseden buruk. Nanti para Kompasianer lain ikut-ikutan kenthir demi memenangi Kompasianival Awards. Bisa hajab nanti Min K kena kritik melulu. Mana gaji gak besar-besar amat."
"Hmm, terdengar hyper-kenthir. Lalu?"
"Tadinya mereka mau bikin isu miring untuk membunuh karakter Felix Tani. Tapi diurungkan karena orang kenthir kan kagak ade matinye."