Bukan Poltak namanya kalau jatuh tanpa berhitung. Sambil mendorong tiang bantingan dengan kakinya, dia membiarkan dirinya jatuh seperti nangka busuk ke lumpur sawah. Bantingan urung tumbang, Poltak sukses berlumur lumpur.
Tapi, bagi warga Panatapan, lumpur adalah bedak riasan wajib di masa panen padi. Dia penanda kegembiraan menyambut berkah. Tanpa lumuran lumpur sawah di badan, kegembiraan panen tidak sah.
Doa orang Batak kepada Mulajadi Nabolon, "Sai sinurma pinahan, gabema niula," beranak-pinaklah ternak dan saratlah panenan sawah. Jika panen berhasil baik, berarti doa terkabul. Karenanya setiap orang selayaknya bersuka-ria.
"Jangan banyak-banyak kau bawa, Poltak," Parandum mengingatkan, "Nanti berceceran." Poltak memaksakan diri mengangkut sekaligus dua tibalan, tumpukan rumpun padi yang baru disabit.
Tibalan-tibalan itu diangkut lalu ditumpuk membentuk sebuah luhutan, timbunan besar melingkar penuh. Mengangkat tibalan dan membentuk luhutan adalah pekerjaan laki-laki. Tugas perempuan, menyabit padi.
Rumpun padi di luhutan harus diinapkan dulu satu malam. Agar bulir-bulirnya mudah lepas saat dibantingkan ke dasor, papan perontokan pada bantingan.
Itu artinya dua hari panen. Lalu dua ekor ayam menjadi gulai. Itulah yang paling disukai Poltak. Dua hari makan pakai lauk gulai ayam.
Hari pertama, waktu potong padi, telah berlalu. Hari kedua, waktu perontokan, pembersihan dan pengangkutan gabah ke rumah, sudah tiba.
"Poltak, bantu bapak angkat padi ke samping bantingan," perintah bapaknya. Poltak dan bapaknya mengumpan para perontok.
Perontokan adalah ban berjalan. Pengumpan menyediakan tumpukan batang padi. Lalu perontok pertama membanting dua kali. Pindah ke orang kedua, banting empat kali. Geser ke orang ketiga, banting enam kali. Akhirnya ke panarsari, pengurai berkas jerami, agar gabah yang terselip jatuh, sebelum dibuang.
"Cepatlah umpannya, Poltak!" teriak Parandum, amangudanya, perontok pertama. Poltak terpontal-pontal mengumpan. Dia kalah cepat. Bapaknya sedang duduk istirahat merokok.