Parandum, amanguda Si Poltak, sukses dengan sandiwara bunuh dirinya. "Amongmu ini setuju kau lanjut ke IKIP. Tapi jangan pernah melakukan lagi cara itu," kakek Poltak akhirnya setuju. Tapi dia mencela sandiwara Parandum.
Mungkin Parandum yakin sandiwara itu tak akan membunuhnya. Tapi siapa sebenarnya yang bisa menjamin tipuan semacam itu mustahil berujung kematian. Apalagi jika, misalnya, dilakukan pada hari Minggu, saat Tuhan sedang betistirahat.
Kalau itu sampai terjadi, mati, maka Parandum akan mengalami mate ponggol, mati muda sebelum menikah. Jelas itu bukan cita-citanya. Dia tak ingin mati muda sia-sia. Hina.
Kematian itu, bagaimanapun, adalah misteri kepastian. Setiap orang pasti mati. Tapi kapan kematian datang menjemput, bagaimana caranya, tak seorang pun bisa memastikan. Itu misteri ilahi.
Ketimbang memecahkan misterinya, orang Batak lebih memilih menyongsong kematian. Caranya, mempersiapkan diri sebaik mungkin. Agar kematian dapat disambut secara layak, tanpa meninggalkan cela apa pun di dunia.
Hal itu dilakoni oleh buyut Poltak, orangtua kakeknya. "Kami, Amongmu dan Inongmu ini, masih sehat. Niat kalian untuk manulangi kami sangat mulia. Tapi belum saatnya." Tampikan ayah-ibunya itu terngiang di telinga kakek Poltak. Tahun lalu, dia dan adik-adiknya menyampaikan niat untuk manulangi kedua orangtuanya itu.
"Amangoi! Sakit!" Poltak menjerit pelan, tertahan. Gigi serinya terasa sakit bukan main.
Terbawa ke dalam lamunan, kakek Poltak menjadi kurang awas. Sepeda Raleigh yang dikendarainya, berboncengan dengan Poltak dan nenek Poltak, melindas lubang besar di jalan. Sepeda terguncang hebat. Satu gigi seri atas Poltak yang sedang goyah beradu dengan gigi seri bawah. Rasa sakitnya mengalir ke ubun-ubun.
"Hati-hati. Gigi Poltak mau copot itu," nenek Poltak, dari boncengan, mengingatkan suaminya.
Lewat jalan raya Trans-Sumatra, Poltak dan kakek-neneknya sedang berkayuh ke Hutabolon, empat kilometer sebelah utara Panatapan. Buyut Poltak, orangtua kakeknya, tinggal di sana. Kakek Poltak, anak sulung, diminta datang ke rumah.
Rumah buyut Poltak berdiri di atas bukit. Arsitekturnya asli rumah adat Batak. Di gerbang kampung, berdiri tegak hariara raksasa, pohon penanda yang dikeramatkan. Hariara itu ditanam leluhur buyut Poltak pada waktu pembukaan kampung.