Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

[Poltak #016] Cucu Sulung Rasa Anak Bungsu

Diperbarui: 6 Oktober 2020   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disain sampul: Felix Tani; Foto: erabaru.com

Kedatangan bapaknya, Amani Poltak,  siang itu ke rumah kakeknya, oleh Poltak dianggap biasa saja. Bukan sekali dua kali bapaknya, juga ibunya, mampir di situ.  Apalagi, rumah kakek Poltak berada di antara Robean, tempat tinggal bapaknya dan areal sawah miliknya di sebelah selatan dan timur Panatapan.

"Sedang melukis apa kau, Nak."  Bapaknya sempat menyapa Poltak di halaman, sebelum masuk ke dalam rumah.  Poltak diam saja.  Tersenyum. Meneruskan  lukisannya di tanah. Dia pikir, bapaknya bisa melihat sendiri lukisannya.

Bapaknya berbincang dengan kakek dan neneknya di dalam rumah.  Tak begitu jelas terdengar di telinga Poltak.  Tapi dia juga tidak ingin tahu.  Itu urusan orangtua.  

"Saya mau bawa Poltak pulang ke Robean.  Anak sulung harus tinggal bersama orangtuanya,"  Amani Poltak menegaskan keinginannya.  Dia tidak mampu lagi membendung tuntutan ibu Poltak.  "Masa anak buhabaju, panggoaran kita tidak tinggal bersama kita.  Macam kita tak mampu membesarkannya. Malulah sama orang sekampung."  Ibu Poltak protes keras. Ini perkara harga diri orangtua.  

Dalam masyarakat Batak anak buhabaju, sulung, pembuka pertama baju ibunya untuk menyusui, sekaligus panggoaran, penamaan orangtua, semisal Amani Poltak dan Nai Poltak, lazimnya harus tinggal bersama orangtua.   Sebab anak sulung adalah identitas sosial orangtua Batak.

"Biarkan dia di sini saja.  Tinggal bersama kami.  Supaya kami tidak kesepian.  Biarlah kami yang membesarkannya,"  pinta nenek Poltak dengan sangat.  Baginya, cucu pertamanya itu sudah serasa anak bungsu.  Begitu juga bagi kakek Poltak.

"Tidak, Inong, Among.  Poltak tanggungjawab kami, bapak dan ibunya."  Amani Poltak berkeras.  Tak ingin lagi dia mendengar protes Nai Poltak, jika gagal membawa pulang Poltak ke Robean.  Bujukan menambah anak lagi sudah tak mempan.  "Saya mau anak pertama, bukan kelima atau keenam," begitu tangkisan Nai Poltak.

"Ayo, Nak.  Kita pulang ke Robean. Rumah kita di sana."  Amani Poltak langsung mencengkeram tangan Poltak dan menariknya untuk ikut ke Robean. 

Poltak bagai disambar petir.  Tapi juga bingung tak mengerti.   Mengapa harus ikut bapaknya ke Robean.  
"Tidak mau!  Rumahku di sini! Aku anak ompung!" Poltak meronta hebat.  Tangisnya meledak, mengemparkan seisi Panatapan.   Warga datang merubung.  Ingin tahu apa yang terjadi.  

Di dalam kerumunan, terselip jugalah Ama Ringkot. Dia tampak puas menyaksikan nasib Poltak.  Gara-gara kepahlawanan Poltak, dia gagal mencuri tanggalan, daging leher kerbau sewaktu upacara adat sarimatua Ompu Maruhal.  Dendamnya serasa terbalaskan kini. Begitulah, pencuri malah dendam, bukannya malu.

Binsar dan Bistok tak ketinggalan.  Mereka hanya diam berdiri.  Prihatin menyaksikan Poltak, kawan karib mereka, diseret-seret bapaknya sendiri. Mahakuasa seorang bapak Batak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline