Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

[Poltak #013] Jangan Kebiri Aku

Diperbarui: 28 September 2020   09:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Disain sampul: Felix Tani; Foto: erabaru.com

Tuhan hadir dalam rupa langit biru,  siang itu, di Panatapan. Bukan lantaran hari itu hari Minggu. Bukan. Tapi karena malam sebelumnya Tuhan telah hadir dalam rupa hujan lebat. Dia mencuci bersih awan di atas kampung.  

Inilah dosa besar bagi anak-anak Panatapan: tidur siang di saat langit cerah. Sebab itu berarti menolak ajakan Tuhan untuk bermain. Tuhan berduka bila ditolak anak-anak, pemilik Kerajaan Surga itu.

"Poltak! Ayo, martalinsir!"  Nyaring, teriakan Binsar mengajak Poltak martalinsir, main kereta luncur. Binsar, bersama Bistok, berdiri menunggu di halaman rumah Ompung Poltak, siap dengan kereta luncur masing-masing.

"Ayo! Sebentar, ya!" Poltak menyahut. Suaranya terdengar jauh di kebun belakang rumah. 

Seperti biasa, dia sedang nangkring makan buah langsung di atas pohonnya. Kali ini pohon jeruk manis yang, entah kenapa,  rasa buahnya selalu masam.

Di Panatapan, buah tidak disajikan di atas meja makan.  Sebab keluarga-keluarga di sana tak satu pun punya meja makan. Mereka makan duduk meriung di lantai, beralaskan tikar mendong.

Lagi pula takada tradisi makan buah selepas makan siang atau malam di Panatapan. Karena itu, jika seorang anak ingin makan buah maka, seperti Poltak, dia harus cari sendiri di kebun. Selalu ada pisang, jambu air, nenas, jambu klutuk, terung Belanda, markisa atau pun jeruk di situ.  

"Ini ada jeruk untuk kalian. Sebuah seorang." Poltak mengangsurkan jeruk kepada Binsar dan Bistok, sedetik setelah datang  bergabung dengan kereta luncur di tangan.

Binsar dan Bistok segera mengupas dan melahap jeruk pemberian Poltak.  Mereka sangat nenikmatinya, sekali pun harus dengan dahi mengerut dan mata mengerinyit. Sebab jeruk yang paling manis adalah pemberian tulus sahabat karib, semasam apa pun rasanya.

Beriringan, sambil berceloteh, tiga sekawan itu mendaki bukit Partalinsiran di utara kampung. Masing-masing memanggul kereta luncur di bahunya.

Kereta luncur itu asli mereka bikin sendiri. Dibuat dari batang daun enau. Dua potongan batang, masing-masing sepanjang satu meter, dijadikan sasis ganda bersenjang 40 sentimeter. Kedua ujung depannya dilancipkan. Di ujung depan sasis itu dipakukan melintang satu potongan untuk pijakan kaki. Lalu di bagian belakang dipakukan melintang empat potongan untuk dudukan pantat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline