"Boa ...!" Poltak berteriak dari bibir tebing, di gigir timur Kampung Panatapan.
Di bawah sana, di ceruk lembah kecil, ada pancuran kampung. Satu-satunya sumber air bersih untuk seluruh warga Panatapan.
Panatapan itu hanyalah kampung kecil. Penghuninya hanya tujuh rumahtangga. Termasuk rumahtangga kakek-nenek Poltak.
Pancuran itu sumber air yang tiada habisnya untuk Panatapan. Untuk keperluan mandi, cuci, minum dan pengairan sawah di hilirnya.
"Boa ...! Sekali lagi Poltak kecil berteriak. Sore hari adalah waktu perempuan mandi, cuci dan mengambil air minum di pancuran.
Laki-laki yang hendak lewat pancuran harus meneriakkan kata "boa". Artinya, harafiah, "pemberitahuan".
Hal sebaliknya juga begitu. Kalau kebetulan ada laki-laki mandi, lalu ada perempuan mau lewat, atau hendak ke pancuran, dia harus meneriakkan "boa" juga.
Itu etika. Jangan sampai kejadian perempuan mandi telanjang di pancuran, tiba-tiba laki-laki datang atau lewat tanpa ijin. Tak beradat namanya itu.
"Boa!" teriakan balasan para perempuan terdengar dari pancuran. Artinya, mereka sudah siap, menutup barang-barang yang perlu ditutupi. Laki-laki boleh lewat.
Kerbau-kerbau Poltak ditambatkan di padang penggembalaan di sebelah timur kampung. Dia harus melewati lembah pancuran itu dan dua bukit lagi untuk tiba di sana.