Rudy Gunawan, dialah Kompasianer yang paling saya persalahkan hari ini. Bukan karena dia melakukan kesalahan pada saya. Bukan. Semata-mata karena saya memerlukan seseorang untuk dijadikan "kambing hitam". Perilaku seperti itu saya teladani dari para politisi, pejabat, dan pengusaha yang tersangkut kasus korupsi. Apakah saya, seorang petani gurem, bisa disalahkan?
Mengapa harus Rudy Gunawan? Karena dia seorang numerolog dan masalah saya berkaitan dengan angka. Dalam pikiran saya, jika ada permasalahan terkait angka yang tidak dapat dijelaskan secara logis, maka yang harus dipersalahkan adalah numerolog. Karena numerolog sudah terbiasa mendengar hal-hal yang tidak masuk akal dan membuatnya jadi masuk akal.
Kalau saya mempersalahkan dosen matematika atau statistika, dia pasti akan menanyakan nilai Matematika atau Statistika saya dulu waktu kuliah. Sebelum ditanya begitu, lebih baik kabur. Saya tidak mau terlihat dungu seperti seorang anggota DPR yang menyalahkan seorang direktur utama BUMN karena mendapatkan modal gratis di pasar modal. "Kalau gak mampu bayar, habis dong aset negara disita!" gebraknya.
Masalah saya bersangkut-paut dengan nomor artikel di Kompasiana. Kemarin saya menerbitkan artikel "Jemu Menanti Artikel Nomor 888" (K.13/8/20). Artikel itu saya klaim bernomor 887. Nomor 888 itu target saya sebelum pukul 00.01 tanggal 17 Agustus 2020. Artinya saya tinggal memerlukan satu artikel saja untuk memenangi perlombaan target jumlah artikel melawan Pak Tjiptadinata. Sebab, per pukul 06.00 WIB kemarin, Pak Tjip masih harus menulis 21 judul artikel sebelum ayam berkokok pada subuh hari tanggal 17 Agustus 2020.
Dengan posisi perlombaan seperti itu maka saya dengan sombong meledek Pak Tjip. Saya bilang, "Pak Tjip ikut lomba lari maraton, Felix Tani ikut lomba balapan sepeda lambat." Itu sebabnya saya bilang "Jemu menanti artikel nomor 888," karena saya hanya terutang satu nomor.
Mungkin ada yang protes, "Itu bukan perlombaan yang adil!" Hei, coba tunjukkan di mana keadilan bisa di temukan di negara ini. Atau, jika itu terlalu luas, di mana keadilan bisa ditemukan di Kompasiana? Semua ukuran keadilan selalu terpulang pada pemangku kepentingan terkuat, bukan? Saya yang menulis artikel, maka saya yang menentukan keadilannya. Saya ambil jalan termudah untuk diri sendiri. Ada yang keberatan?
Tapi, ya, begitulah. Sekuasa-kuasanya manusia, ada saja kualatnya. Seperti tupai yang pandai melompat tapi sekali-sekali jatuh juga ke tanah karena lupa menghitung pengaruh gravitasi. Begitu pula dengan saya, lupa bahwa setiap tambahan satu angka kepada angka sebelumnya akan menghasilkan angka yang lebih besar.
Angka 887 ditambah angka 1 menjadi 888k bukan? Kuyakin, kuntilanak tuna-angka juga tahu itu. Karena itu tak perlulah bertanya kepada numerolog Kompasiana.
Kedunguan rupanya gemar mencobai kekenthiran. Dan itulah yang terjadi pada diri saya. Ternyata saat saya menerbitkan artikel "Jemu Menanti Artikel Nomor 888" yang saya klaim bernomor 887, pada saat itu saya telah menerbitkan artikel nomor 888. Sambil menikmati rasa malu, saya harus berterimakasih kepara rekan Katedrarajawen yang telah mengingatkan soal tersebut. Ternyata dia yang anti-nomer itu lebih jeli ketimbang seorang numerolog.
Seperti lazimnya pelaku kesalahan di negara ini, saya mulai mencari alasan pembenaran. Sepenglihatanku, jumlah artikelku di akun masih menunjuk angka 886 saat menulis artikel "Jemu Menanti Artikel Nomor 888." Itu sebabnya saya dia saya beri nomor 887. Lha, saat diterbitkan, kok bisa tiba-tiba angka jumlah artikel melompat ke 888? Betul angka 888 itu hoki, tapi tidak seaneh itu juga kale caranya.
Karena soal angka hoki itu urusan numerolog, dan hanya ada seorang numerolog bernama Rudy Gunawan di Kompasiana, maka wajar dong jika saya menganggap lompatan aneh dari 886 ke 888 itu sebagai kesalahannya. Maksudnya mungkin baik, memberikan angka hoki 888 untuk saya. Tapi dia lupa konsekuensinya: saya menjadi kualat kepada Pak Tjip.