(Untukmu petani cengkeh Manggarai, Flores)
Tuan-tuan saudagar VOC sudah lama mati. Bibit cengkeh Maluku sudah menyeberang jauh ke Pulau Flores. Hujan Desember menuntun akarnya menembusi batu bertanah, tegak lurus menghunjam ke dalam perut bumi Pulau Bunga itu.
Panorama perbukitan Flores di bulan Juni adalah puisi semesta alam. Hijau dedaunan cengkeh berselimut polkadot merah bunga-bunga meruapkan wangi rejeki panen. Bunga-bunga eksotis mengundang kawanan kumbang dalam rupa tengkulak.
Monopoli katanya sudah lama mati. Tapi mengapa puisi cengkeh di lereng-lereng pegunungan Pulau Bunga menguras kering air mata petani? Mengapa harga bunga cengkeh tiada cukup membeli sehelai jua sapu tangan penyeka keringat?
Bukan wangi rejeki panen yang semerbak dari bunga-bunga eksotis itu melainkan ruap bau busuk petaka rugi yang meniup mati api di tungku petani.
Wahai Tuan Presiden, Tuan Menteri dan Tuan Gubernur yang duduk di kursi empuk hasil pajak cengkeh. Ke manakah sorot matamu kau tolehkan di saat air mata petani tumpah menggenangi tumpukan bunga cengkeh? Kemanakah liang telingamu kau sedengkan di saat teriakan parau petani cengkeh mohon keadilan menderu-deru dari puncak-puncak pegunungan Flores?
Tuan-tuan saudagar VOC sudah lama mati. Petani cengkeh hanya berharap tak lagi berurai air mata di saat memetik bunga-bunga cengkeh yang puitis di curam lereng-lereng perbukitan Pulau Bunga.(*)
Gang Sapi Jakarta, 27.07.20
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H