Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Gibran, "The Soloist"

Diperbarui: 27 Juli 2020   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gibran Rakabuming dan Markobar (Foto: finansialku.com)

Jujur, saya pengagum berat Gibran. Maksudku, Kahlil Gibran, penyair Libanon-Amerika yang sohor sejagad itu. Puisi-puisinya digandrungi para remaja Dead Poet Society di kala jatuh cinta. Untuk dikutipkan satu dua larik buat Sang Gebetan.  

Tapi ini bukan tentang Kahlil Gibran, penganggit syair Sang Nabi itu. Ini tentang Gibran Rakabuming Raka, pebisnis jasa boga dan tukang martabak dari Solo.  Menu andalannya adalah martabak Markobar. Rasanya, wah, saya belum pernah cicipi.

The Soloist, ini bukan tentang filem arahan Joe Wright (2009) yang berkisah tentang Nathaniel Ayers (Jamie Foxx), seorang pemain cello pengidap skizofrenia.   Ini murni tentang Gibran Rakabuming, asli orang Solo (Soloist), yang diperkirakan bakal menjadi kanditat tunggal (the soloist) dalam Pilwakot Solo 2020. Tolong jangan ada pula yang menyangkut-pautkan ini dengan Homo e. soloensis.

Gibran diramal akan menjadi The Soloist dalam Pilwakot Solo 2020 karena tak ada yang bernyali menantangnya.  Orang bilang, menantang Gibran itu sama saja dengan menantang adu lari putra mahkota kerajaan. Pelari tercepat seantero kerajaan sekalipun pasti kalah. Sebab di garis finis telah menanti hadiah "tiang gantungan" bagi siapa saja yang bisa mengalahkan putra mahkota. Emang, berani, loe?

Para tukang kritik spesial politik lalu menggerutu, "Wah, ini penegakan dinasti politik.  Tidak etis!" Kritik itu diketapelkan ke kuping Pak Jokowi, ayah kandung Gibran. Jangan ada yang pura-pura tidak tahu Gibran itu kini statusnya putra sulung Presiden RI, Jokowi. Tadinya, sih, dia putra sulung tukang mebel.

Dalih etika dipakai sebagai amunisi karena alasan nepotisme mati gaya. Tak bisa dibuktikan secara hukum bahwa Jokowi telah menyalah-gunakan kekuasaannya (abuse of power) untuk mendukung pencalonan Gibran.  
Hanya bisa dikatakan bahwa Gibran telah memanfaatkan pengaruh besar (abundance of power)  ayahnya sebagai modal politik.

Itu sih bukan nepotisme tapi mumpungisme. Kira-kira perkaranya serupa dengan caleg memasang foto bapak atau kakeknya yang kondang sebagai latar belakang foto dirinya pada spanduk kampanye. Atau seperti tukang dakwah meminjam wibawa Kardinal yang diaku ayahnya.

Berharap politisi negeri ini peduli etika sama saja mengharap lele mencukur misainya. Apalagi etika yang disodorkan para pengeritik itu etika politik demokrasi liberal Barat. Itu hanya berlaku pada struktur dan kultur politik yang sama-sama rasional.  

Di negeri ini struktur politiknya saja yang rasional. Sementara kulturnya primordial atau bahkan feodal. Di sini seseorang bisa mendadak anggota DPR atau ketua partai karena sangat disayang orangtuanya.  

Para pengeritik mestinya sadar, etika politik Barat itu sesuatu yang traumatis bagi bangsa ini. Dulu penjajah Belanda pernah berbaik budi bikin Politik Etis pasca Tanam Paksa di sini. Baik budi tapi tetap menjajah. "Baik nenek, loe," mungkin begitu sembur Ahok. Belanda ngelus kepala sembari nginjek lidah kaki macam bikin ayam penyet, baik budinya di mana, coba.

Jadi kalau tak mampu merumuskan etika politik khas konteks Indonesia, ya sudah, duduk manis saja.  Untuk sementara terima saja dulu bahwa mumpungisme itu etis secara politik praktis.  Tak usah teriak-teriak,  "Itu menyimpang dari teori Barat."  Itu sama saja dengan rewelan, "Ini martabak Markobar kok nggak sepedas Pizza Italiano, ya."  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline