Jika saya hanya mengejar label Artikel Utama (AU) di Kompasiana maka saya tidak akan pernah menulis artikel ini.
Jenis artikel semacam ini bukanlah selera Admin K. Atau persisnya, sesuai watak kapitalis K, artikel "recehan" seperti ini pasti dinilai tidak memenuhi kebutuhan dan selera konsumen media sosial daring. Karena itu dia tak layak ditampilkan sebagai AU. Rugi bandarlah.
Dari pengalaman saya tahu, atau setidaknya bisa menduga, tipe artikel macam apa yang berpeluang besar dilabeli AU. Atau mungkin tepatnya punya intuisi tentang artikel yang layak diposisikan sebagai AU.
Saya bilang, "Intuisi!" Camkanlah itu, kawan. Jadi kamu tolong jangan tanya kriteria obyektifnya. Sebab intuisi itu subyektif. Kendati dasarnya akumulasi pengalaman obyektif.
Lha, kalau sudah tahu atau punya intuisi tentang karakter artikel yang layak AU, kok gak menulis artikel untuk menjadi AU. Begitu tanyamu lugu.
Ampun, deh. Saya kan sudah bilang di awal kalau hanya menarget AU, maka saya tak akan pernah menulis artikel seperti ini.
Memangnya apa itu "artikel seperti ini"? Ya, artikel yang lahir murni dari kemauan saya sendiri demi kepentingan umum. Inilah jenis artikel yang lahir dari otonomi diri.
Sebaliknya adalah "artikel seperti itu". Maksud saya artikel yang ditulis berdasar kemauan Admin K. Dengan begitu, Kompasianer penulisnya telah menghambakan diri pada kepentingan K selaku kapitalis. Singkat kata, dia tak punya otonomi diri.
Jadi, saudara-saudara, sebelum menulis artikel di Kompasiana, pastikan lebih dulu jawaban pertanyaan ini, "Mengapa dan untuk kepentingan siapa saya menulis?"
Kalau kamu menulis sesuai kemauan dan kepentingan K yang kapitalis maka siap-siaplah sakit hati. Sebab belum tentu artikelmu diganjar label AU. Sudah mujur bila artikelmu dilabeli "Artikel Pilihan", sebagai oase di "gurun artikel tanpa label".
Jika itu pilihanmu maka siapkanlah mentalmu untuk menjadi sekadar "kuli kapitalis" yang sesekali diberi bonus pelipur lara. Dengarkan kata-kataku ini, "Kamu tak kan beroleh bahagia di jalan itu, kawan."