Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Selamat Tinggal Kompasiana

Diperbarui: 13 Juli 2020   17:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Illustrasi dari qureta.com

"Selamat tinggal Teluk Bayur permai. Daku pergi jauh ke negeri seberang. Ku 'kan mencari ilmu di negeri orang. Bekal hidup kelak di hari tua."

Bait lagu lawas gubahan Zainal Arifin itu mengalun merdu dari saluran Youtube, saat saya menuliskan artikel melankolis ini.

Suara merdu Ernie Djohan, pelantunnya, pas banget dengan suasana hati saat ini. Ingin meninggalkan pelabuhan Kompasiana ke negeri lain demi nafkah di hari tua.

Ingatan saya melayang ke kakek buyutku dulu. Pada usia genap 100 tahun, demikian klaimnya, dia mengeluh lirih, "Sepi. Tidak ada kawan lagi. Semua sudah pergi ke akhirat. Mengapa aku masih di sini? Aku ingin pergi menyusul mereka."

Saya terbawa suasana melankolis. Teman-teman lama di Kompasiana, perlahan tapi pasti, rupanya sudah mulai pergi pula satu per satu.

Jati Kumoro, Pebrianov, S Aji, dan Bambang Setyawan, untuk menyebut beberapa orang saja, tidak pernah muncul lagi. Susy Haryawan juga sudah mulai timbul-tenggelam akhir-akhir ini. Mudah-mudahan semua kawan-kawan ini sehat walafiat adanya.

"Selamat tinggal kasihku yang tercinta. Doakan agar ku cepat kembali. Kuharapkan suratmu setiap minggu. Kan kujadikan pembuluh rindu."

Bait itu mendayu pula menjalari gendang telingaku. Tiap minggu saya menulis artikel di Kompasiana. Itu suratku kepada teman-teman lama. Berharap mereka membacanya.  Lalu terbit rindunya untuk kemudian kembali ke "Rumah Bersama" ini.

Tapi entahlah. Sudah sekian lama tak ada tanda-tanda mereka akan kembali "pulang ke rumah".   Mungkin mereka sudah mendapat "rumah baru" yang lebih baik di "negeri orang". Semoga mereka tetap sehat walafiat di sana.

Saya lantas merenung. Ketika teman-teman lama, para Kompasianer kenthir lan mbeling itu sudah pergi, apakah saya masih harus bertahan di sini? Apakah saya tidak sebaiknya juga mengucapkan "Selamat tinggal, Kompasiana."

Saya membayangkan diri mengucapkan salam perpisahan itu. Alangkah melankolisnya. Sekaligus terasa gagah. Kok, gagah? Ya, menurut saya, mampu melepas keterlekatan dari sesuatu yang disenangi itu gagah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline