Ada, bahkan banyak, penyandang gelar Profesor yang bangga dipanggil Prof atau Pak Profesor. Bahkan ada, juga banyak, dari mereka yang cemberut jika lawan bicara lupa menyebut gelar Profesornya. Dianggapnya miskin rasa hormat.
Akan halnya saya, Felix Tani, sama sekali tidak bangga, sebaliknya miris, dipanggil Prof(esor) oleh rekan-rekan Kompasianer. Alasannya sederhana: Saya bukan (seseorang yang bergelar) Profesor. Jujur, saya hanya seorang petani benih padi. Tepatnya buruh tani karena cuma jadi pembantu pada sebuah perusahaan benih.
Asal-usul penyematan gelar Profesor itu harus dilacak pada seri kuliah "Metode Penelitian Kualitatif" di Kompasiana beberapa tahun silam. Penganugerahan gelar itu adalah dosa berjamaah The Three Mas Kenthir Kompasiana yang mengaku murid saya: Pebrianov, Jati Kumoro dan Susy Haryawan. Mereka bertigalah yang paling bertanggungjawab atas lekatnya gelar "Prof" pada nama saya.
Sungguh, gelar Prof(esor) Felix Tani itu adalah hoaks terkocak yang pernah ada di Kompasiana. Aslinya itu adalah gelar "guyonan". Tapi kemudian dianggap sebagai "kebenaran". Entah sudah berapa orang Kompasianer lama dan baru, tua dan muda, pria dan wanita, yang termakan oleh hoaks picisan itu.
Saya terkadang takjub, begitu mudahnya orang-orang cerdas ini percaya pada rekayasa gelar Prof oleh rekan-rekan kenthir. Atau betapa malasnya mereka memeriksa kebenarannya. Mereka pikir, barangkali, tak mungkinlah Kompasianer bohong soal gelar akademik.
Bohong, secara langsung, sih, tidak. Tapi membiarkan guyonan berlarut-larut sehingga orang menganggapnya benar adalah proses pembohongan a'la nazisme. Itu tergolong kejahatan kemanusiaan, lho. Ngeri!
Karena itu saya putuskan untuk mengakhiri hoaks lelucon yang menyesatkan ini. Saya, Felix Tani, bukan seorang Profesor. Koma.
Koma, karena ada tiga alasan sok moralis perlu juga saya tambahkan untuk menguatkan pengakuan konyol ini.
Pertama, tidak baik membiarkan rekan-rekan Kompasianer yang baik budi mempercayai saya sebagai Profesor, padahal cuma Prosesor Kata. Takutnya Kompasianer berharap terlalu tinggi lalu kemudian kecewa mendapati arrikel saya picisan tulen. Lha, piye, Profesor mutune kok ya ngono! Kecewa, kan?
Kedua, saya harus menghormati para ilmuwan tulen yang meraih gelar Profesor dengan jerih payah tak terkira. Itu adalah pengakuan status tertinggi yang mungkin diraih seorang dosen atau peneliti. Menjadi Guru Besar atau Profesor Riset adalah impian para ilmuwan. Masa saya menjadi selevel dengan mereka hanya lantaran tiga orang Kompasianer kenthir menuduh saya "Profesor"?
Bahkan sekadar Profesor Honoris Causa pun saya tidak pantas. Mungkin tepat disebut sebagai profesor humoris causa, gara-gara guyonan. Tapi itu kan pelecehan pada harkat mulia gelar Profesor. Bisa kena pasal penistaan saya nanti.