Pertanian pangan akan menghadapi tantangan terberat memasuki masa "normal baru" atau masa "berdamai dengan Covid-19".
Dua harapan besar ditumpukan padanya. Pertama, menyediakan stok pangan untuk mencukupi kebutuhan domestik. Sebab opsi impor pangan, antara lain dari Vietnam, Thailand dan India, akan terkendala kebijakan karantina wilayah dalam rangka pengendalian Covid-19.
Kedua, menyerap arus-balik tenaga kerja dari kota ke desa yaitu para korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dari sektor industri dan jasa yang "rehat" terdampak Covid-19. Ditambah pelaku ekonomi informal kota yang pulang kampung karena peluang usaha/kerja yang ikut meredup.
Inisiatif pemerintah terkait pembangunan pertanian dalam masa pandemi dan normal baru sejauh ini adalah, pertama, pemotongan anggaran Kementan (APBN 2020) yang berisiko menciutkan volume kegiatan pembangunan pertanian pangan.
Lalu, kedua, sebuah solusi jangka menengah yaitu inisiasi sinergi BUMN dan Kementan mencetak sawah untuk antisipasi krisis pangan terkait dampak Covid-19.
Dua inisiatif tersebut bukan jawaban tepat untuk dua harapan di atas. Karena itu suatu strategi yang lebih relevan perlu segera dirumuskan untuk dilaksanakan secara konsisten.
Sehingga pertanian dan pedesaan tidak menjadi "bom waktu" keresahan yang dapat berujung kerusuhan sosial.
Sinergi Intensifikasi Pertanian Pangan
Inisisasi sinergi cetak sawah antara BUMN dan Kementan adalah respon terhadap arahan Presiden Jokowi dalam Ratas Kabinet tanggal 28 Maret 2020. Tujuannya mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi Covid-19.
Menurut presiden sekarang sudah mulai terjadi defisit bahan pangan di sejumlah provinsi. Antara lain gula pasir (30 provinsi), jagung (11 provinsi), dan beras (7 provinsi).
Namun indikator krisis pangan untuk Indonesia sebenarnya adalah defisit stok beras. Jika defisit beras hanya di 7 provinsi maka untuk saat ini belum terhitung krisis, sejauh volume stok nasional mencukupi untuk distribusi beras dari daerah surplus ke daerah defisit.
Tapi stok beras akhir tahun ini memang diperkirakan defisit, kendati untuk Juni 2020 Menteri Pertanian menyebut ada suplus beras 6.45 juta ton. Penyebabnya adalah kemungkinan penurunan kontribusi panen musim gadu dari 35% menjadi 25%, atau hanya 8 juta ton beras.