Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Pertanian, Solusi Pangan dan Kemiskinan di Masa "Normal Baru"

Diperbarui: 7 Juni 2020   06:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Illustrasi Dokumentasi Pribadi

Pertanian pangan akan menghadapi  tantangan terberat memasuki masa "normal baru" atau masa "berdamai dengan Covid-19".    

Dua harapan besar ditumpukan padanya. Pertama, menyediakan stok pangan untuk mencukupi kebutuhan domestik.  Sebab opsi impor pangan, antara lain dari Vietnam, Thailand dan India, akan terkendala kebijakan karantina wilayah dalam rangka pengendalian Covid-19.

Kedua, menyerap arus-balik tenaga kerja dari kota ke desa yaitu para korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dari sektor industri dan jasa yang "rehat" terdampak Covid-19. Ditambah pelaku ekonomi informal kota yang pulang kampung karena peluang usaha/kerja yang ikut meredup.

Inisiatif  pemerintah terkait pembangunan pertanian dalam masa pandemi dan normal baru sejauh ini adalah, pertama, pemotongan anggaran Kementan (APBN 2020) yang berisiko menciutkan volume kegiatan pembangunan pertanian pangan. 

Lalu, kedua, sebuah solusi jangka menengah yaitu inisiasi sinergi BUMN dan Kementan mencetak sawah untuk antisipasi krisis pangan terkait dampak Covid-19.  

Dua inisiatif tersebut bukan jawaban tepat untuk dua harapan di atas. Karena itu suatu strategi yang lebih relevan perlu segera dirumuskan untuk dilaksanakan secara konsisten. 

Sehingga pertanian dan pedesaan tidak menjadi "bom waktu" keresahan yang dapat berujung kerusuhan sosial.  

Sinergi Intensifikasi Pertanian Pangan
Inisisasi sinergi cetak sawah antara BUMN dan Kementan adalah respon terhadap arahan Presiden Jokowi dalam Ratas Kabinet tanggal 28 Maret 2020.  Tujuannya mengantisipasi krisis pangan akibat pandemi Covid-19. 

Menurut presiden sekarang sudah mulai terjadi defisit bahan pangan di sejumlah provinsi.   Antara lain gula pasir (30 provinsi), jagung (11 provinsi), dan beras (7 provinsi).  

Namun indikator krisis pangan untuk Indonesia sebenarnya adalah defisit stok beras. Jika defisit beras hanya di 7 provinsi maka untuk saat ini belum terhitung krisis, sejauh volume stok nasional mencukupi untuk distribusi beras dari daerah surplus ke daerah defisit.  

Tapi stok beras akhir tahun ini memang diperkirakan defisit, kendati untuk Juni 2020 Menteri Pertanian menyebut ada suplus beras 6.45 juta ton. Penyebabnya adalah kemungkinan  penurunan kontribusi panen musim gadu dari 35% menjadi 25%, atau hanya 8 juta ton beras.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline