Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Pandemi "Virus Instan" dan "Social Distancing" di Kompasiana

Diperbarui: 8 Mei 2020   16:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambaran interaktif Kompasianer pada sampul buku Pepih Nugraha, 2013 (Sumber: kompasiana.com)

Ada terasakan tapi tak terkatakan akhirnya dinyatakan orang lain.  Begitu suasana bathinku saat membaca artikel Yon Bayu ("Agar Opinimu Tidak Menjadi Sampah Peradaban", K.03.05.20) dan kemudian Susy Haryawan ("Benarkah Kompasiana Sepi Pembaca?", K.07.05.20).

Pesan pokok kedua artikel itu adalah mutu artikel opini Kompasiana menurun (Yon Bayu/YB) dan jumlah pembaca artikel Kompasiana merosot  (Susy Haryawan/SH).

Dua hal itu juga yang saya rasakan dan, syukurlah, telah diungkap oleh dua orang Kompasianer senior tadi, Mas YB dan Mas SH.

Tapi saya pikir ada baiknya mengapresiasi artikel Mas YB dan Mas SH dengan cara menulis artikel tanggapan ini.

Dengan semangat saling-melengkapi, saya hendak urun pendapat tentang penyebab gejala penurunan mutu isi dan jumlah pembaca artikel di Kompasiana.

Inti pandangan saya, sekarang Kompasiana sedang dilanda pandemi "virus instan" (penurunan mutu artikel opini)  sehingga Kompasianer mengambil tindakan social distancing (penurunan jumlah pembaca).

Dari Opini ke "Opo nie"
Belakangan ini, setelah membaca sejumlah besar artikel opini di Kompasiana, di ujung saya menggerutu, "Opo nie!"   Apaan ini? Katanya opini nyatanya cuma reproduksi, penulisan ulang berita yang sudah santer.

Sebuah artikel opini wajib menyajikan kebaruan. Dia adalah gagasan yang disampaikan dari sudut pandang tertentu, dengan kerangka pikir tertentu, dan berdasar data atau fakta tertentu.  Dengan cara demikian artikel opini selalu mencerdaskan pembacanya.

Nyatanya saya kerap merasa tertipu, bahkan kadang merasa dirugikan, setelah membaca sejumlah artikel yang diklaim opini di Kompasiana.  Sebab artikel itu ternyata kelas "Opo nie" yang miskin referensi, minus kerangka pikir, dan defisit data, sehingga ujungnya (maaf) "mendungukan". Isinya hanya reproduksi fakta dan opini yang sedang tren.

Penyebab penurunan mutu artikel-artikel opini itu sudah diungkap Mas YB dengan tepat. Saya rumuskan ulang di sini.

Pertama,  "kemalasan literasi", malas mencari dan membaca sehingga miskin referensi dan data, lalu artikel menjadi sarat spekulasi atau bahkan cenderung hoaks.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline