"Istriku, bila nanti ajalku menjelang, berilah aku segelas tuak, maka aku akan mati dalam senyum."
Lelaki tua pemabuk mengirim pesan kepada perempuan tua istrinya, pada dini hari yang dingin menjelang kokok ayam pertama, dari gelap kolong rumah panggung milik mereka, tempatnya terkapar menghabiskan sisa malam.
Istri yang silih asuh tak hendak memberi pintu, bagi suaminya yang mabuk tuak, yang selalu pulang dari lapo saban dini hari.
"Suamiku, tidak, bila nanti ajalmu menjelang, kan ku beri kau sejuta maaf, maka kau akan mati dalam damai."
Istri menampik pesan suaminya, pada dini hari tepat saat kumandang kokok ayam pertama, dari atas pangkuan sebuah dipan tua, teman setianya mengarungi sepi malam-malam yang dingin.
Istri yang silih asih adalah pemaaf tiada batas, demi harapan tobat bagi suami pemabuk, yang mencintai segelas tuak lebih dari apapun.
"Istriku, tuak adalah jiwaku, segelas saja cukuplah, untuk kuserahkan kepada Mulajadi Nabolon, bila saatnya tiba Dia memanggilku."
Lelaki tua pemabuk tak menyerah merayu istrinya, pada dini hari yang dingin menjelang kokok ayam kedua, dari gelap kolong rumah panggung milik mereka, tempatnya terbaring menghitung hembusan nafasnya.
Suami pemabuk selalu punya selangit alasan, selimut bagi kelemahannya, tidak mampu keluar dari penjara tabiat buruknya.
"Suamiku, aku adalah jiwamu, lebih dari samudera tuak sedunia, tanggungjawabmu padaku kan ditagih Mulajadi Nabolon padamu, kelak di waktu Dia datang menjemputmu."
Istri menampik rayuan suaminya, pada dini hari tepat saat kumandang kokok ayam kedua, dari dalam balutan selimut tikar anyaman sendiri, yang setia memeluknya melewati dingin malam-malam sepi.