Hoaks! Itu respon saya seketika. Saat mendapat pesan WA dari seorang kerabat di Solo pagi ini. "Didi Kempot meninggal dunia."
Lord Didi, Godfather of Brokenheart, Bapak Loro Ati Nasional. Itulah gelar yang disematkan padanya, oleh penggemar fanatiknya, khalayak "Sobat Ambyar".
"Stasiun Balapan", "Banyu Langit", dan "Pamer Bojo". Itu tiga masterpiece campur-sari Didi Kempot yang paling saya suka.
Tiga lagu itu menurut saya sangat mewakili remuk-redamnya, ambyarnya, hati warga "Sobat Ambyar", kumpulan orang-orang yang patah hati ditinggal pergi kekasih hati.
Tiga lagu itulah yang menyatukan "Sobat Ambyar" nasional yang datang dari semua suku, agama, ras, lapisan sosial, golongan sosial, dan gender.
Kala melihat penonton bergoyang menyemut meningkahi lagu itu dengan teriakan "Cendol Dawet", saya menjadi takjub, bahwa begitu banyaknya orang patah hati di negeri ini, dan bahwa patah hati tak pandang bulu.
Dan bahwa patah hati adalah kekuatan maha dahsyat. Terbukti dari konser tunggal amal penanggulangan Covid-19 "Sobat Ambyar Peduli" yang digelar Didi Kempot lewat Kompas TV pada 11 April 2020 lalu berhasil menghimpun dana Rp 7.5 miliar dari "orang-orang patah hati".
Konser itu layak menjadi "piagam" pengabdian sosial Didi Kempot. Dia yang mengawali karirnya dengan perjuangan melawan kepahitan hidup pribadi, mengakhirinya dengan perjuangan melawan kepahitan hidup bangsa akibat pandemi Covid-19.
Mungkin terdengar aneh orang Batak seperti saya seolah tersesat menjadi warga gelap "Sobat Ambyar". Tidak, sejatinya tidak aneh. Lagu-lagu campursari Didi Kempot itu lintas-etnik, kendati dilantunkan dalam Bahasa Jawa.
Atau, sebenarnya "patah hati" itu adalah Bahasa universal. Dinyanyikan dalam bahasa apapun, pendengar yang patah hati langsung mengerti.
Sebab "Sobat Ambyar" tidak mendengar dengan telinga kepala, melainkan dengan "telinga hati".