Belum terlambat menghaturkan terimakasih kepada umat Katolik Indonesia. Tidak hanya kepada umat awam tetapi juga para klerus yaitu diakon, imam dan uskup.
Terimakasih layak disampaikan karena kerelaan tanpa syarat dari umat Katolik Indonesia untuk menjalani Ibadah Paskah tahun 2020 ini secara on-line di rumah. Mulai dari ibadah Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung sampai Sabtu Suci atau Malam Paskah.
Sebenarnya menjalani Ibadah Paskah adalah kewajiban sekaligus hak umat Katolik. Ucapan terimakasih disampaikan kepada mereka karena hal itu dilaksanakan dengan berpegang pada protokol pencegahan perluasan pandemi Covid-19.
Sedikitnya ada tiga alasan untuk berterimakasih.
Pertama, umat Katolik telah membuktikan kepatuhan kepada aturan pemerintah untuk tetap tinggal di rumah. Sekaligus kepatuhan kepada Gereja dengan tetap menjalankan Ibadah Paskah, kendati secara on-line. Ini membuktikan prinsip "seratus persen Indonesia seratus persen Katolik".
Kedua, dengan menjalankan Ibadah Paskah di rumah, umat Katolik telah menjaga gereja agar tidak menjadi lokus dan sumber penularan Covid-19. Walaupun belum tentu kejadiannya akan begitu, setidaknya sudah melakukan pencegahan. Telah ada kasus-kasus ibadah bersama yang berakhir dengan penularan Covid-19 di sejumlah tempat.
Ketiga, umat Katolik sudah memberikan teladan bahwa ibadah tidak mesti berjamaah di gedung gereja atau di tanah lapang. Berlaku satu prinsip imani di sini: "gereja (gedung) boleh tutup tapi Gereja (Tubuh Kristus) tetap buka". Artinya, Gereja tetap hidup di dalam diri setiap umat, walau (untuk sementara) kegiatan ibadah berjamaah dihentikan, demi keselamatan bersama.
Tentu ada kasus-kasus umat Katolik "membandel" dengan tetap melaksanakan ibadah bersama di masa pandemi Covid-19, dengan sesuatu alasan yang "tidak relevan dengan situasi darurat bencana Covid-19". Kasus-kasus semacam itu harus disesalkan dan tidak boleh lagi terulang.
Sebuah anekdot saduran kiranya cocok menutup ucapan terimakasih ini.
Ada seorang umat yang naik ke pucuk menara gereja untuk menyelamatkan diri dari air bah. Dia berdoa mohon pertolongan kepada Tuhan.
Sepanjang dia berdoa itu di bawahnya lewat berperahu, berturut-turut satu keluarga dari agama lain yang dibencinya, satu keluarga dari etnis lain yang dibencinya, dan akhirnya aparat pemerintah yang dibencinya.
Tapi dia menolak ajakan naik perahu dari tiga kelompok itu dan tetap ngotot berseru minta pertolongan pada Tuhan.