Barang siapa pernah berada di Terminal Parluasan, Pematang Siantar, mestinya pernah mendengar teriakan "Toba, Toba, Tobaaa...!"
Itu teriakan para kondektur bus rute Siantar-Toba. Mereka sedang menjaring penumpang jurusan Toba. Entah itu warga Toba yang mau pulang kampung. Atau warga Siantar dan sekitarnya yang hendak berkunjung ke Toba.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, kata "Toba" itu menunjuk pada bentang wilayah persebaran utama suku Batak Toba.
Ambil peta J.C. Vergouwen (1986, 1933) sebagai rujukan. Di situ wilayah "Toba" mencakup Samosir di utara, lalu Uluan, Toba Holbung, Habinsaran, Humbang, Sijamapolang, Hurlang, Silindung, sampai Pahae di selatan (Lihat Peta 1).
Tapi peta Vergouwen itu bisa bikin gaduh. Sebab orang Samosir, Humbang, dan Silindung misalnya cenderung menolak disebut Par-Toba, orang Toba. Atas dasar variasi adat-istiadat.
Karena itu, seperti diteriakkan kondektur bus Siantar-Toba, diambillah kesepakatan umum bahwa "Toba" itu mencakup wilayah Toba Holbung, Uluan dan Habinsaran saja.
Pergi ke Toba, sebagaimana dipikirkan kondektur bus tadi, berarti pergi ke tiga wilayah itu. Pusatnya adalah kota Balige.
Jika penumpang dari Siantar hendak ke Uluan, yaitu dari Ajibata, Lumbanjulu, Jangga, Lumbanlobu sampai Porsea, maka dia akan turun sebelum bus tiba di Balige.
Jika hendak ke Habinsaran, yaitu Parsoburan, Borbor dan Nassau, maka dia boleh turun di Silimbat atau lanjut ke Balige. Dari situ lalu menumpang oplet khusus jurusan Parsoburan.
Sejatinya teriakan kondektur bus Siantar-Balige itu adalah konsensus sosial. Suatu hasil komunikasi terus-menerus antar warga Tanah Batak. Termasuk antara kondektur dan penumpang bus.
Konsensus cakupan wilayah Toba itu perlu diingatkan kembali. Sebab baru-baru ini ada satu produk hukum yang menafikan eksistensi Uluan dan Habinsaran sebagai "Tanah Toba"