Mayoritas orang Batak di Tanah Batak kini pasti menertawakan para penganut perspektif bumi datar (flat earth). Sebab gereja dan kemudian sekolah sejak mula telah mengajarkan pada mereka bahwa bumi itu bulat seperti bola. Bukan sebuah lempeng datar raksasa yang mengambang di antara surga di atasnya dan neraka di bawahnya.
Sekarang bolehlah tertawa. Tapi ingat, kosmologi orang Batak (Toba) sebenarnya mengajarkan perspektif bumi datar. Jadi menertawakan "kaum bumi datar" kini sebenarnya sama saja menertawakan nenek-moyang orang Batak sendiri.
Perspektif "bumi datar" ala Batak memang tidak pernah diajarkan di sekolah. Sebab sekolah-sekolah di Tanah Batak, sejak masa Zending Protestan (sejak 1864) dan Misi Katolik (sejak 1934) tidak mengajarkan kosmologi asli Batak, melainkan astronomi modern peneguh bumi bulat.
Saya ingin mengungkap perspektif "bumi datar" dalam kosmologi Batak Tua itu di sini. Bukan untuk kembali menganutnya. Tapi untuk menjadi pengetahuan, sekaligus melihat implikasinya pada kehidupan masyarakat Batak masa kini, khususnya kehidupan religi.
Tiga Benua Orang Batak
Kosmologi orang Batak membagi alam semesta ke dalam tiga lapis yang disebut banua ginjang (benua/dunia atas), banua tonga (benua/dunia tengah), dan banua toru (benua/dunia bawah). Faham alam semesta berlapis ini menunjuk pada konsep alam semesta datar, seperti kue lapis tiga.
Banua ginjang adalah dunia para mahadewa dan dewata tinggi Batak. Agama asli orang Batak mengenal satu mahadewa yang disebut Mulajadi Nabolon (Awal Segala yang Ada, Maha Pencipta). Mulajadi Nabolon ini menciptakan tiga dewata tinggi Batak yaitu Bataraguru, Soripada (Balasori), dan Mangalabulan (Balabulan).
Ketiga dewata itu disebut Debata Na Tolu (Tridewata) dengan pembagian kerja yang tegas. Bataraguru menguasai banua toru dengan kuasa penciptaan (kreasi). Soripada menguasai banua tonga dengan kuasa pengelolaan (pelaksanaan). Mangalabulan menguasai banua ginjang (dunia atas) dengan kuasa pembaruan.
Sebaliknya banua toru adalah dunia dewata rendah. Di sana tinggal dewa Naga Padoha yang punya kekuatan merusak, antara lain menghasilkan gempa. Tapi juga di sana tinggal dewa Boraspati Ni Tano (wujud bengkarung), dewa tanah yang berkuasa menyuburkan dan menanduskan tanah, serta isterinya Boru Saniangnaga (wujud ular) yang punya kuasa pengendalian air.
Banua tonga adalah dunia manusia yang berada di antara banua ginjang dan banua toru. Banua tonga dan kehidupan manusia di atasnya tunduk pada kuasa dewata tinggi Soripada, secara langsung lewat kuasa pengelolaannya. Keselarasan sosial dan alam di dunia manusia adalah buah tata-kelola Soripada.
Tapi banua tonga juga tunduk pada kuasa penciptaan dewata tinggi Bataraguru (penguasa banua toru), semisal letusan gunung berapi, banjir, dan gempa yang menciptakan danau, daratan, dan gunung baru.
Serta tunduk pada kuasa pembaruan Mangalabulan (penguasa banua ginjang) yang menginisasi pembaruan-pembaruan dalam proses co-evolution antara manusia dan alamnya.