Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Kasus Elios dan Malau, Etika "Kapitalisme Batak" dan Wisata Danau Toba

Diperbarui: 28 Januari 2020   11:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemandangan Danau Toba di Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Minggu (19/4/2015). |Sumber: Kompas.com /Roderick Adrian Mozes

Benarkah masalah utama wisata Danau Toba itu ketaksiapan infrastruktur? Ini pertanyaan yang mengganggu di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur transportasi, komunikasi, dan hospitalitas untuk menjadikan Danau Toba destinasi wisata kelas dunia.

Respons optimistik orang Batak di lingkar Danau Toba, juga pemerintah daerah terhadap proyek-proyek infrastruktur itu seolah mengatakan itulah yang diperlukan untuk memajukan wisata Danau Toba.

Nyaris seluruh elemen masyarakat dan pemerintah mendukung. Walau tentu ada kasus-kasus resistensi. Misalnya penolakan warga Bius Paropat Sigapiton pada The Kaldera Toba yang dianggap mengokupasi tanah adat mereka.

Tapi kebenaran sejati tidak ditemukan dari pernyataan melainkan dari tindakan. Tesis ini berlaku juga untuk kasus dinamika pembangunan wisata Danau Toba. 

Pandangan umum orang Batak di sana mengatakan masalah utama adalah ketaksiapaan infrastruktur. Tapi tindakan sosial warga mengindikasikan masalah utamanya adalah ketaksiapan kultur Batak memasuki era ekonomi wisata modern.

Ada sejumlah kasus empirik di ragam bidang yang mengindikasikan ketaksiapan budaya itu. Tapi saya cukup angkat dua kasus sengketa "tagihan melambung" yang baru-baru ini viral. 

Pertama di rumah makan Elios di Tuktuk, Samosir dan, kedua, rumah makan Napinadar Malau di Sidikalang, Dairi.

Kasus Elios dan Malau
Kasus Elios. Kasus sengketa harga di rumah makan Elios, Tuktuk Samosir diungkap oleh akun facebook Marihot Simbolon tanggal 29 Desember 2019.

Berarti kejadiannya sekitar minggu terakhir bulan Desember 2019. Bertepatan dengan musim liburan Natal 2019 dan Tahun Baru 2020.

Konsumen protes keras karena disuguhi bon tagihan senilai Rp 1.6 juta (Rp 1,613,000). Menurut konsumen harga itu terlalu tinggi, tidak masuk akal. Sebaliknya pemilik rumah makan bersikeras harga itu sudah pas, masuk akal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline