Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Tragedi Jakarta dan Komedi Anies Baswedan

Diperbarui: 22 Januari 2020   05:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Potret banjir di Jakarta (Foto: kompas.com)

Jakarta hari-hari ini adalah sebuah tragedi.  Berawal dari "Tragedi Pilgub Jakarta 2017", berlanjut ke "Tragedi Banjir Jakarta 2020".  Lalu, nanti, berujung entah dengan tragedi apa lagi.  Ironisnya, tragedi itu direspon Gubernur Jakarta Anies Baswedan dengan narasi komedi yang menyesakkan.

"Tragedi Pilgub Jakarta 2017" adalah peristiwa tragis kekalahan calon gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok dari pesaingnya Anies Baswedan.  Kalah bukan disebabkan keunggulan konsep, kapabilitas, dan integritas Anies untuk membangun Jakarta. Tapi oleh narasi "Ahok penista Islam" yang diberondongkan pada Ahok pada putaran kedua kampanye, menggenapi narasi "Ahok kafir" yang ditebar pada putaran pertama kampanye.  

Narasi "Ahok penista Islam" dibangun berdasar frasa "dibohongi pakai Surat Al-Maidah 51" dalam pidato Ahok di Pulau Seribu pada 27 September 2016. Ditambah narasi "Ahok kafir", maka sebuah narasi mengerikan dihasilkan, "Ahok kafir penista Islam".

Karena "Ahok kafir penista Islam" maka, pertama, dia tidak boleh dipilih menjadi Gubernur Jakarta yang warganya mayoritas Islam dan, kedua, dia harus dipenjarakan karena telah menista agama Islam.

Itulah pesan inti aksi unjuk rasa akbar umat Islam pada 2 Desember 2016, dikenal sebagai Aksi 212, di Lapangan Monas Jakarta.  Sepanjang sejarah Pilkada di Indonesia, inilah aksi unjuk rasa terbesar untuk "mengalahkan" seorang calon gubernur petahana. Aksi yang tidak saja melibatkan warga Jakarta tetapi juga, mungkin mayoritas, warga dari luar Jakarta.

Terbukti, Aksi 212 sangat efektif. Sejak hari aksi itu, Ahok telah dipersepsikan sebagai "musuh Islam" yang haram hukumnya dipilih menjadi Gubernur Jakarta.  Tidak perduli sehebat apapun konsep, kapabilitas, dan integritasnya.  Tak perduli apapun yang manfaat yang telah diberikannya untuk Jakarta.  

Sementara Anies Baswedan, seperti dikatakan Jubir PA 212 Novel Bamukmin, adalah "simbol perjuangan Islam" (1). Kemenangannya, kata Jubir FPI Slamet Maarif, adalah kemenangan Islam (2).  Itu sudah  lebih dari cukup sebagai alasan  memilih Anies menjadi Gubernur Jakarta.  

Sejarah Jakarta mencatat, narasi "kemenangan Anies kemenangan Islam" itu menjadi kenyataan. Sejumlah 58 persen warga pemilih Jakarta, mayoritas penganut Islam,  memilih Anies menjadi  Gubernur Jakarta  periode 2017-2022.  

Anies menang terutama bukan karena alasan konsep, kapabilitas, dan integritasnya secara objektif jauh lebih hebat dibanding Ahok. Tapi terutama karena secara subyektif,  mayoritas dari 58 persen pemilih itu menolak memilih seorang "kafir penista Islam" menjadi gubernurnya. Mereka memilih gubernur yang seiman (3).

Kemenangan Anies itu, sejatinya, adalah  awal dari "Tragedi Banjir Jakarta 2020". Pangkal soalnya, program mitigasi banjir yang diusung Anies adalah anti-tesis dari program Ahok.  Khususnya program inti revitalisasi sungai-sungai Jakarta. Ahok menjalankan program normalisasi sungai sebagai mitigasi banjir, sedangkan Anies menggagas program naturalisasi sungai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline