Sudah lama saya merindukan sebatang pohon Natal menjulang tinggi di ruang publik Jakarta. Kerinduan yang agaknya mustahil terpenuhi. Sebab jangankan pohon Natal, pernak-pernik hiasan Natal saja kini seolah tabu di ruang publik Jakarta.
Saya sungguh tidak paham mengapa pohon Natal dan pernak-perniknya ditabukan di ruang publik Jakarta. Setahu saya sekurangnya dalam sepuluh tahun terakhir memang ada satu ormas bernafaskan agama Islam yang alergi pada simbol-simbol Natal itu dan ingin Jakarta bersih darinya.
Saya tidak paham alasan alergi pada pohon Natal itu. Jika disebut alasan iman, maka harus saya katakan, pohon Natal bukanlah simbol iman Kristiani. Itu tak lebih dari budaya kebendaan yang dilekatkan orang Eropa ke dalam kehidupan beragama umat Kristiani. Tidak ada satu ayatpun dalam Injil yang memerintahkan pengikut Yesus mendirikan pohon Natal setiap tanggal 25 Desember untuk merayakan hari kelahiranNya. Lagi pula, Yesus tidak benar-benar lahir tanggal 25 Desember, bukan?
Pohon Natal sebagai budaya kebendaan dalam kehidupan beragama umat Kristiani kurang-lebih sepadan dengan ornamen ketupat, unta, dan pohon kurma yang menghiasi mal-mal Jakarta menjelang Lebaran. Semua itu adalah budaya kebendaan yang menghiasi kehidupan beragama. Bukan iman itu sendiri. Tidak ada orang yang langsung murtad karena melihat pohon Natal atau makan ketupat Lebaran.
Beragama tanpa budaya menurut saya kering. Sebab manusia pada hakekatnya dihidupi budaya dan menghidupkan budaya. Termasuk budaya dalam kehidupan beragama.
Aspek budaya dalam kehidupan beragama itu menurut saya mestinya tampil terbuka di ruang publik kota. Menjadi bagian dari budaya kota. Sebab sebuah kota tanpa budaya adalah kota yang gersang, kalau bukan kota yang mati.
Maka kepada Jakarta harus ditanyakan, "Seperti apakah budaya kota ini, kalau benar ada?" Bukankan semestinya budaya majemuk (multi kultur) yang dikelola menjadi satu "budaya Jakarta" seutuhnya? Kemajemukan ras, etnik, dan agama mestinya menyatu di situ, menjadi taman budaya Jakarta yang indah.
Dengan cara pikir seperti itu, maka kehadiran pohon Natal di ruang publik Jakarta mestinya dapat diterima sebagai sumbangan budaya beragama umat Kristiani kepada "budaya Jakarta". Suatu sumbangan budaya kebendaan yang memeriahkan dan mempercantik lansekap budaya kota Jakarta. Tanpa konotasi keimanan, sama sekali.
Karena itu pula saya berani membayangkan tugu Monas sebagai lilin raksasa yang menjadi batang bagi tegaknya konstruktruksi sebatang pohon Natal raksasa di tengah kota Jakarta. Saya bayangkan pohon Natal itu kerlap-kerlip warna-warni menerangi lapangan Monas di malam hari, dengan nyala lilin kilau emas di puncaknya. Tidakkah itu pemandangan yang indah dan menggetarkan?
Jika itu menjadi kenyataan maka pohon Natal Monas dipastikan masuk catatan Guinness Book Records sebagai pohon Natal tertinggi di dunia. Catat: 132 meter. Jauh di atas rekor konstruksi pohon Natal tertinggi yang kini dipegang kota Rio de Janiero, Brazil saat ini (84 meter). Sebelumnya rekor (57 meter, 2016) dipegang kota Kolombo, Srilanka yang berpenduduk mayoritas Budha.
Saya kira pohon Natal Monas, jika itu ada, akan menarik turis domestik dan mancanegara ke Jakarta. Itu sesuatu yang wajar. Sebab budaya Natal kini sudah menjadi bagian dari bisnis. Lihatlah Singapura yang kini mengkapitalisasi budaya Natal untuk menarik pembelanja Kristiani kaya dari Indonesia. Seandainya Jakarta mengakapitalisasi budaya Natal, maka mungkin warga Singapura yang datang ke Indonesia.