"Hanya ada dua tipe laki-laki, padi dan jagung. Padi adalah rumah monogami, jagung adalah padang poligami."
Kata orang Minangkabau, "Alam takambang jadi guru." Maksudnya belajarlah pada gejala alam sekitar. Dia murah hati mengajarkan kearifan hidup. Kita hanya memerlukan pikiran kosong dan hati lapang untuk mencerapnya.
Perkawinan pada padi dan jagung, dua jenis tanaman pangan pokok kita, padi adalah gejala "alam takambang jadi guru". Ada ajar kearifan terkait perilaku kawin yang dapat dipetik dari situ. Padi mengajarkan monogami sedangkan jagung mengajarkan poligami.
Sang Khalik telah memberi karunia akal-budi pada manusia sejak lahir. Dengan akal-budinya manusia dapat belajar dari gejala perkawinan padi dan jagung. Lalu punya kebebasan memutuskan apakah akan menjadi "padi" atau "jagung".
***
Saya akan awali dari cerita perkawinan padi.
Perkawinan padi itu bersifat monogami. Sari jantan dan putik betina berada dalam satu bunga yang sama. Bisa dikatakan, jantan dan betina tinggal dalam "rumah" (batang padi) yang sama dan tidur di atas ranjang (bunga padi) yang sama.
Padi kawin dengan bantuan angin. Tiupan angin menggugurkan serbuk sari dari kepalanya. Serbuk jatuh dan ditangkap bulu-bulu putik betina yang berada di bawah kepala sari. Serbuk sari terpilih menyusup ke dalam ovarium dan membuahi sel telur di sana. Hasilnya adalah zigot dan inti polar yang kemudian berkembang menjadi buah (bulir) padi.
Menurut hasil penelitian sekitar 95 persen putik betina (ovarium) padi dibuahi oleh serbuk sari jantan yang tidur seranjang dengannya. Lima persen putik betina dibuahi serbuk sari jantan dari ranjang atau rumah tetangga yang tidak mampu menolak derasnya tiupan angin untuk "selingkuh".
Proses kawin padi yang saya ceritakan di atas sifatnya alami. Sekarang, karena rekayasa manusia, padi ada juga yang berpoligami seperti jagung. Itu terjadi pada penangtatan benih padi hibrida.
Penangkaran benih padi hibrida terdiri dari padi betina (yang bunga jantannya dimandulkan) dan padi jantan. Pada saat masa kawin tiba, manusia menggebah padi jantan sehingga serbuk sarinya terbang dan jatuh ke putik padi betina. Hasilnya adalah benih padi hibrida yang memiliki keunggulan produktivitas, bisa mencapai 15 ton per hektar.
Padi itu aslinya monogami. Manusialah yang memaksanya berpoligami demi mendapatkan benih unggul dengan produktivitas tinggi. Tapi, sungguh, ini bukan justifikasi bagi manusia bahwa poligami diperlukan untuk menghasilkan putra-putri unggulan.
Itu cerita perkawinan padi. Selanjutnya cerita perkawinan jagung.
Perkawinan jagung, kebalikan dari padi, bersifat poligami. Pada jagung sari jantan dan putik betina tinggal serumah (satu batang) tapi pisah ranjang (bunga). Bunga jantan berada jauh di sebelah atas, di pucuk batang jagung, berupa malai. Sedangkan bunga betina di bawah, di ketiak daun, berupa tongkol. Baik bunga jantan maupun betina awalnya biseks tapi kemudian berkembang menjadi murni jantan dan betina.
Seperti pada padi, perkawinan jagung juga dibantu angin. Tiupan angin melepaskan serbuk sari dari bulirnya, puluhan juta per bulir, lalu menerbangkannya ke seantero ladang jagung.
Serbuk jatuh ke bunga betina, tepatnya ke untaian rambut yang menjuntai dari ujung tongkol. Rambut-rambut itu adalah saluran ratusan ovarium yang memanjang ke luar untuk menangkap serbuk sari jantan. Semakin lebat dan berkilau rambutnya semakin bagus hasil pembuahannya.
Karena serbuk sari terbang ke segala penjuru, seturut arah angin, maka bunga jantan praktis membuahi bunga-bunga betina di pohon (rumah) lain dan bahkan di kebun (kampung) lain. Dengan kata lain bunga jantan jagung itu berpoligami, kawin dengan ratusan atau bahkan ribuan bunga betina.
Hasil penelitian menunjukkan 95 persen ovarium jagung dibuahi sari jantan dari pohon tetangga atau kebun lain. Hanya lima persen yang dibuahi sari jantan yang tinggal serumah. Jarak ranjang jantan dan betina terlalu jauh sehingga sari jantan lebih suka berpoligami dengan berkendara angin.
Sebenarnya jika dilihat dari sisi bunga betina, jagung itu tipe poliandri juga. Bunga betina jagung menjulurkan rambut lebatnya untuk menangkap sembarang serbuk sari jantan dari delapan penjuru angin. Proses ini bisa menghasilkan tongkol jagung dengan biji warna-warni.
Tapi bunga betina jagung itu berada pada posisi pasif. Serbuk sari bunga jantanlah yang aktif mencari putik betina. Karena itu perspektif poligami lebih tepat untuk membingkai gejala kawin jagung.
***
Lantas, dari sudut pandang sosiologi (keluarga dan gender) pelajaran apa yang dapat dipetik dari gejala biologis pekawinan padi dan jagung?
Pertama, perkawinan padi mengajarkan bahwa monogami dapat dipertahankan dengan cara suami dan isteri hidup dalam satu rumah dan tidur di atas satu ranjang yang sama. Artinya, suami dan istri berada pada posisi struktural yang relatif setara. Tidak ada gejala hegemoni atau dominasi suami (laki-laki) atas isteri. Pada posisi setara maka kontrol perilaku antara suami dan isteri berlaku efektif.
Perkawinan padi memberi indikasi "hanya" lima persen suami "ngaco", selingkuh atau poligami, pada struktur kesetaraan laki-laki dan perempuan semacam itu. Itu terjadi ketika suami tidak kuat menahan tiupan angin atau terpaan badai rumahtangga. Suami semacam itu membiarkan dirinya terbawa angin atau badai untuk jatuh ke pelukan perempuan lain.
Kedua, belajar dari jagung, posisi suami yang terlalu tinggi (seperti bunga jagung jantan) di atas isteri (seperti bunga jagung betina) membuahkan risiko poligami. Struktur hegemoni atau dominasi suami atas isteri, atau subordinasi perempuan, cenderung memicu laki-laki untuk berperilaku semena-mena. Sebab isteri pada posisi subordinat, nyaris tak kuasa mengontrol perilaku suami. Terlebih lagi, bila seperti bunga jantan jagung, suami pisah ranjang dari isterinya.
Pada jagung, tiupan angin membawa serbuk sari jantan lepas kontrol berkelana mencari putik betina untuk dikawini. Begitu pula laki-laki atau suami pada posisi super-ordinat, yang relatif tak terkontrol isterinya yang berada di posisi subordinat, lepas "berkelana" seturut tiupan hawa nafsu mencari perempuan-perempuan lain untuk selingkuh atau poligami.
Begitulah, seperti jagung, laki-laki yang duduk atau didudukkan pada posisi tinggi, sukses karier dan kaya harta, cenderung serakah seksual sehingga tergoda untuk berpoligami.
***
Sampai di sini ijinkan saya menyimpulkan bahwa, belajar dari kisah kawin padi dan jagung, kita bisa membuat proyeksi tipe perilaku kawin laki-laki yaitu monogami dan poligami. Monogami terpelihara pada suami-isteri yang berposisi setara, terutama yang tinggal serumah dan tidur seranjang. Poligami terjadi ketika suami ditempatkan pada posisi superordinat, jauh di atas isterinya yang tersubordinasi, khususnya jika mereka pisah ranjang walau tinggal serumah.
Berdasar kesimpulan di atas, akhirnya saya ingin menyampaikan satu usulan provokatif. Mulai hari ini marilah kita sebut suami monogami sebagai "lelaki padi" dan suami poligami sebagai "lelaki jagung".
Sekianlah provokasi dari saya, Felix Tani, petani mardijker, petani padi monogami dan jagung poligami.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H