Apa yang hilang dalam layanan pesawat udara kita kini? Sentuhan personal! Itu menurut pengalamanku sejauh ini. Entah dalam penerbangan dalam negeri maupun luar negeri. Termasuk Vietjet Air yang pramugarinya tak punya baju itu.
Pelayanan canggih itu berarti mekanikal dan digital. Demi kecanggihan semacam itu sentuhan personal dalam layanan disisihkan. Perhatikan bahwa para pramugari udara itu sudah menjadi bio-robot dengan gesture dan ucapan standar. Sama persis di semua maskapai.
Berdiri senyum dan mengucapkan selamat datang kepada penumpang tepat di samping pintu kokpit. Membantu merapihkan bagasi kabin. Mencek sabuk pengaman dan sandaran kursi. Minta persetujuan penumpang di baris pintu darurat untuk membantu buka pintu darurat jika kondisi darurat.
Selanjutnya peragaan tata cara baku naik pesawat yang benar dan aman serta cara menyelamatkan diri, jika tidak tersedia video dalam pesawat. Membagikan makanan dan minuman, jika termasuk dalam layanan.
Akhirnya mengumumkan persiapan dan kesiapan mendarat. Lalu kembali berdiri di samping pintu kokpit mengucapkan terimakasih dan selamat jalan kepada penumpang yang turun.
Saya harus katakan, semua yang dilakukan pramugari itu bisa diambil-alih teknologi digital termasuk robot digital dengan kecerdasan artifisial. Apalagi dalam era Industri 4.0 atau bahkan Society 5.0 yang robotik dan digital sepenuhnya. Tidak akan ada bedanya, bahkan akan lebih presisif, karena yang diutamakan di situ hanya dan hanya fungsi-fungsi teknis.
Pasti terkesan hebat, jika layanan perjalanan udara itu robotik dan digital penuh. Tapi saya sendiri tidaklah "happy", bahkan dalam kondisi sekarang saat layanan udara mulai serba digital, sejak chek-in sendiri di mesin check-in atau on-line sampai peragaan keselamatan penerbangan lewat layar video.
Menjadi robotik dan digital memang sangat hebat, tapi sekaligus menakutkan dan menyedihkan, menurut saya. Dengan layanan digital yang berbasis kecerdasan artifisial itu, para penumpang di pesawat telah diubah statusnya menjadi sosok-sosok artifisial pula.
Robot berkecerdasan artifisial akan melihat penumpang tak lebih dari "mahluk-mahluk artifisial", tanpa emosi atau nurani. Bukankah itu menakutkan? Sekaligus menyedihkan? Pesawat terbang akan menjadi robot terbang yang membawa sejumlah "mahluk artifisial" di dalam perutnya.
Jelas ada yang hilang di situ, yang sudah semakin terasa akhir-akhir ini di layananan penerbangan, yaitu sentuhan personal yang manusiawi. Kita sudah semakin dirobotkan Industri 3.0 dan kini 4.0. Sehingga kita mulai terbiasa rupanya dengan layanan tanpa emosi, tanpa nurani. Yang penting presisi: cepat dan tepat. Kemanusiaan, emosi dan nurani, kita gadaikan demi presisi teknis itu.
Maka ketika soal kartu menu tulis tangan di penerbangan Garuda rute Sidney-Denpasar menjadi viral, saya sejujurnya sangat senang tapi sekaligus sedih.