Sisyphus! Kau sangka sisa usiamu sebuah kemalangan? Tidak. Kau salah sangka. Sisa usiamu adalah kebajikan. Melakoni absurditas hidup manusia. Mendaki hingga setindak dari puncak gunung saat berangkat tidur di malam hari. Hanya untuk menemukan diri terlentang di kaki gunung saat terbangun di pagi hari.
Tidakkah lakon sisa hidupmu suatu kebaikan, wahai engkau Sisyphus?
Sedangkan aku? Aku mengejar batas cakrawala pada sisa umur uzurku. Tapi tiap langkahku tak kunjung mendekatkan jarakku padanya. Sebab kutemukan diri hanya berlari di tempat. Mulai berlari setiap berangkat tidur di malam hari. Hanya untuk menemukan diri semakin dalam terperosok setiap terbangun di pagi hari.
Tidakkah sisa hidupku sebuah kemalangan, wahai engkau Sisyphus?
Tuhanku! Aku tahu Engkau tetap berdiri di sana, di batas cakrawala, sedari dulu, kini, dan sepanjang masa. Setia menungguku untuk menghambur ke pelukanMu. Tapi aku setiap kali telah menyimpang ke jalan lain untuk mengingkari-Mu. Sebelum setiap kali pulang ke titik awal. Dengan air mata sesal berulang di sepasang pelupuk mata renta.
Aku setiap kali membela diri di hadapan-Mu, ya Tuhanku, bahwa aku hanya meneladan Petrus yang tiga kali menyangkal-Mu sebelum ayam berkokok menjelang pagi hari.
Dan Engkau, ya Tuhanku, kulihat dari jauh, atas setiap kali pembelaanku, hanya menyungging selarik senyum penuh asih di bibirMu.***
Jakarta, 29 Juni 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H