Jembatan Porsea, Toba-Samosir (Tobasa) yang terbentang di atas hulu Sungai Asahan pernah menjadi ajang satu pertempuran pada Perang Dunia II tahun 1942. Bahkan orang Porsea sendiri tak banyak yang tahu soal sejarah itu.
Orang yang berjasa mengungkap fakta sejarah itu adalah Prof. Midian Sirait dan Prof. Firman Manurung. Keduanya adalah putra Porsea yang sukses di rantau Jawa (Jakarta), sebagai ilmuwan, birokrat, politisi, dan aktivis LSM. Lewat Yayasan Arjuna dan Yayasan Perhimpunan Pecinta Danau Toba, keduanya mencurahkan pikiran dan dana untuk pengembangan Kawasan Danau Toba.
Saya ingin ceritakan secara ringkas peristiwa pertempuran yang terjadi dalam konteks Perang Dunia II waktu itu. Lalu menutupnya dengan sedikit ulasan tentang posisi geo-ekonomi Porsea yang ternyata sangat strategis. Sehingga pantaslah jika jembatan Porsea atau sebenarnya kota itu sendiri diperebutkan.
***
Warga Porsea yang kerap melintas di atas jembatan Porsea, atau sekadar nongkrong di pagar jembatan sore hari menunggu matahari terbenam, mungkin tidak sadar bahwa di jembatan itu pada tanggal 9-10 Maret 1942, telah terjadi pertempuran sengit antara serdadu Belanda dan serdadu Jepang. Sedikitnya 9 orang serdadu Belanda dan beberapa orang serdadu Jepang tewas dan terkubur dalam arus Sungai Asahan.
Pertempuran terjadi untuk memperebutkan jembatan Porsea sebagai akses utama di jalur darat untuk masuk dari utara ke wilayah Tanah Batak. Atau sebaliknya dari Tanah Batak di selatan ke Sumatra Timur di utara.
Bagi Pemerintah Kolonial Belanda khususnya, jembatan ini bersifat strategis karena memudahkan mobilisasi logistik dan tentara ke seluruh lembah Toba. Juga memudahkan pergerakan ke dan dari Sumatra Timur.
Jembatan Porsea dibangun secara permanen oleh Pemerintah Kolonial Belanda akhir 1910-an. Bersamaan dengan pembangunan jalan raya lintas Parapat ke Porsea, seterusnya ke Balige sampai Siborongborong dan Tarutung.
Sebelumnya jembatan itu terbuat dari kayu, baik tiang-tiangnya maupun lantainya. Pemerintah kolonial kemudian membangun jembatan dengan konstruksi tiang baja dan dudukan beton di kedua ujungnya.
Fungsinya yang sangat vital menjadikan jembatan Porsea itu menjadi rebutan antara pasukan Pemerintah Kolonial Belanda dan pasukan Pendudukan Jepang. Konteksnya waktu itu adalah Perang Dunia II. Jepang menjadi kekuatan fasis yang berambisi mewujudkan Asia Raya, termasuk Hindia Belanda di dalamnya.
Kisah pertempuran itu, berdasarkan penuturan Prof. Midian Sirait dan Prof. Firman Manurung, diawali dengan pendudukan kota Medan oleh tentara Jepang pada akhir Februari 1942. Awal Maret 1942 tentara Jepang sudah merangsek ke Parapat, mendorong mundur tentara Belanda ke Porsea dan Balige di selatan.