Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Dari Candi Ceto Tanpa Tongkat Liwung Bertuah

Diperbarui: 7 Januari 2019   22:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gapura-gapura Candi Ceto terlihat dari puncaknya (Dokpri)

Mengaku ke Karanganyar, Jawa Tengah tapi tak mampir ke Candi Ceto, 1496 mdpl di lereng barat Gunung Lawu, sama seperti makan gudeg tanpa nangka. Artinya, "Sama aja bohong!"

Di puncak Candi Ceto, di punden ke-13, di bawah mezbah, tepat di belakang tiga orang lelaki yang khusuk berdoa, Mbah Kuncen berbisik, "Ini penanda pernah datang ke Candi Ceto, ke Gunung Lawu," sembari mengangsurkan sebatang tongkat komando.

Batang tongkat komando itu terbuat dari kayu liwung (aren jantan?). Pangkalnya dihiasi dengan tiga cincin yang terbuat dari tiga jenis kayu lain yaitu tawa, kebak, dan prono kuning.  

Semua bahan tongkat itu, menurut Mbah Kuncen adalah kayu khas Gunung Lawu yang sarat khasiat dan tuah. Kayu liwung membangkitkan keluhuran, kewibawaan, dan keselamatan (Itu sebabnya dijadikan tongkat komando. Cocok untuk para pengejar pangkat dan jabatan). Kayu tawa berkhasiat untuk tolak bala. Kayu kebak untuk melancarkan rejeki. Kayu prono kuning (air rendaman) untuk penyembuhan aneka penyakit dalam.

"Ini tidak dijual. Cukup dengan mahar saja. Tigaratus limapuluh ribu rupiah," bisik Mbah Kuncen membujuk saya.

"Are you sure about it, Dad?" anak gadisku yang bungsu  mengingatkan, khawatir saya tertarik lalu bayar mahar alias beli.

"Kami ke sini hanya untuk mengalami puncak tertinggi Candi Ceto, Mbah. Matur nuwun sudah diijinkan naik ke sini," saya menolak halus.

Dalam pemahaman saya, bukan  ke Candi Ceto namanya kalau tak menjejakkan kaki di puncak tertinggi candi itu, yaitu di kaki mezbah trapesium, tempat berdoa di punden teratas, punden ketigabelas (atau faktual kesembilan?).

Candi untuk Semua

Candi Ceto adalah peninggalan Hindu yang sampai sekarang masih aktif sebagai tempat beribadah umat Hindu setempat, serta yang datang dari daerah lain. Sekitar 80 persen warga Dusun Ceto, Desa Gumeng Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, tempat candi itu berdiri, adalah penganut agama Hindu. Mereka meyakini diri sebagai keturunan pengikut Brawijaya V, Raja Majapahit, yang dipercaya telah moksa dari puncak Gunung Lawu.

Tiga lelaki berdoa di depan mezbah di puncak Candi Ceto (Dokpri)

Berbagai kegiatan ibadah Hindu rutin diselenggarakan di Candi Ceto. Seperti ibadah Siwaratri (penghormatan pada Dewi Ratri, penyelamat bumi) serta perayaan Galungan, Kuningan, dan Nyepi serta Ngembak Geni (kelanjutan Nyepi, merayakan pembaruan hidup).  
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline