Istilah "politik gendoruwo" yang dilontarkan Pak Jokowi berhasil "membakar jenggot" sejumlah kalangan.
Setidaknya ada dua kelompok yang "kebakaran jenggot". Pertama, politisi dari kubu Pasangan Pabowo-Sandiaga. Kedua, pengamat yang mengklaim diri netral.
Kedua kelompok itu cenderung menilai istilah "politik gendoruwo" itu tidak berada dalam alur kesantunan dalam berpolitik.
Kata pengamat, harusnya Pak Jokowi tidak memproduksi ujaran-ujaran yang sifatnya pejoratif, melecehkan pihak lain. Ujaran semacam "politik gendoruwo" atau sebelumnya "politisi sontoloyo" dinilai tidak mencerminkan suatu kualitas baik kenegarawanan.
Lain lagi kubu pendukung pasangan Prabowo-Sandiaga. Bukannya membantah istilah "politik gendoruwo", malah mengalihkan isu dengan bilang "harga-harga yang naik" lebih menakutkan ketimbang "gendoruwo".
Atau seperti dikatakan Pak Sandiaga, "gendoruwo ekonomi" yang justru harus diwaspadai. Sandiaga menyebut pelaku ekonomi rente, mafia ekonomi, mafia pangan, dan lain-lain adalah "gendoruwo ekonomi" yang menggerogoti ekonomi nasional.
Menurut saya, baik pengamat maupun kubu Prabowo-Sandiaga, gagal memahami esensi istilah "politik gendoruwo" yang dilontarkan Pak Jokowi.
Saya akan coba paparkan di sini duduk soalnya. Ringkas saja.
Pertama, dengan istilah "politik gendoruwo" Pak Jokowi sejatinya mengkonsepsikan suatu pola perilaku politik yang berorientasi menakut-nakuti masyarakat tentang nasib buruk di masa depan jika (dalam kasus ini) Jokowi berkuasa dua periode.
Kemudian ditawarkan solusi untuk menghindari nasib buruk yang menakutkan itu yakni jangan memilih Jokowi menjadi Presiden RI untuk periode kedua.
Masalahnya di sini, "nasib buruk" yang menakutkan itu tidak didukung data empiris yang terpercaya. Sifatnya hanya merupakan klaim subyektif yang cenderung fiktif. Semisal mengatakan "tahun 2030 Indonesia bubar", "99 persen rakyat Indonesia hidup pas-pasan", dan "80 persen tanah Indonesia dikuasai asing dan hanya 1 persen dikuasai rakyat".