Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Gejala Anomie di Danau Toba

Diperbarui: 13 Juli 2018   20:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: tobapos.com

Dalam artikel sebelum ini, ketika menyimpulkan muatan berlebih pada kapal rakyat di Danau Toba bukan kebiasaan tapi penyimpangan, saya sedikit berteori bahwa hal itu menunjuk pada buah gejala anomie (kompasiana.com, 7/7/18).

Gejala anomie sederhananya menunjuk pada keadaan "tanpa hukum" (a-nomos). Dalam kasus pelayaran di perairan Danau Toba, itu berarti tidak ada hukum yang berlaku efektif mengaturnya.

Karena tidak ada hukum yang efektif berlaku, maka nakhoda dan penumpang membuat konsensus informal bahwa kapal boleh bermuatan lebih, bahwa alat navigasi tidak diperlukan, bahwa alat keselamatan tidak dibutuhkan, dan lain sebagainya.

Hukum yang dimaksud di sini mencakup, pertama, hukum positif terkait transportasi air di danau. Bukannya tidak ada hukumnya, dalam bentuk peraturan pelayaran. Hukum ada, tapi tidak hidup, tidak ditegakkan.

Bukannya tidak ada aparat untuk penegakan hukum. Ada petugas seperti syahbandar, tapi tidak menjalankan tugas penegakan aturan keamanan pelayaran kapal danau.

Terbukti di Danau Toba kapal penumpang tua, tanpa kelengkapan alat navigasi, tanpa kelengkapan alat keselamatan, tanpa jaminan laik layar kapal, tanpa sertifikasi kompetensi nakhoda, bebas berlayar dengan kondisi muatan berlebih.

Terbukti kasus-kasus kecelakaan kapal tenggelam di Danau Toba selalu berpangkal pada kondisi-kondisi tanpa kontrol hukum di atas.

Selain hukum positif, ini yang kedua, juga tidak hidup suatu hukum adat masyarakat hukum adat Batak setempat, yang mengatur kegiatan pelayaran di Danau Toba.

Saya kira bukannya tidak ada hukum adat yang mengaturnya. Tapi masyarakat setempat memang tidak lagi mempedulikannya. Juga tak ada ikhtiar para pemuka adat setempat untuk menggalinya.

Bahwa ada kepercayaan setempat tentang eksistensi Boru Saniang Naga sebagai Dewi Penguasa Danau Toba, itu sudah indikasi adanya aturan-aturan adat setempat mengenai perlakuan pada dan kegiatan di perairan danau.

Semisal larangan buang hajat dan buang sampah ke danau, pantangan berujar kotor dan sombong, serta larangan bertindak salah saat berkegiatan di perairan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline