Ketika rekan Frelio Bergman (FB) bilang kapal bermuatan lebih di Danau Toba sebagai kebiasaan, saya langsng mikir, mungkin ada yang perlu diklarifikasi di sini.
Apalagi rekan FB kemudian menyimpulkan pembentukan kebiasaan baik, terkait prosedur berlayar, sebagai solusi penertiban pelayaran di Fanau Toba (lihat Frelio Bergman, "Danau Toba dan Teori Kebiasaan", kompasiana.com, 5/7/18).
Setidaknya dua hal perlu diklarifilasi, menurut hemat saya. Pertama, istilah "kebiasaan" dan "biasa" adalah dua hal yang berbeda.
Kebiasaan (folkways) menunjuk pada suatu tingkatan norma sosial yang mengatur tindakan sosial, lazimnya pada aras individu, tapi mungkin juga pada tingkat komunitas dalam bentuk tradisi.
Misalnya tindakan anak mencium tangan orang tua sebagai tanda hormat. Ini kebiasaan di Priangan misalnya, tapi tidak di Samosir.
Biasa (common) menunjuk pada gejala sosial yang umum terjadi dan teramati.
Misalnya, kapal danau sarat penumpang di Danau Toba adalah fakta yang biasa. Tapi itu bukan karena kebiasaan, melainkan karena konsensus sosial.
Itu ada hubungannya dengan ketimpangan antara pertumbuhan jumlah penumpang dan pertumbuhan daya abgkut kapal danau di Danau Toba.
Di satu sisi jumlah penumpang (dan muatan barang) meningkat terus, seiring pertumbuhan penduduk dan ekonomi wisata. Tapi di lain pertumbuhan daya angkut kapal cenderung rendah, karena pertambahan jumlah kapal yang terbatas.
Akibatnya, tidak ada pilihan lain kecuali nakhoda dan penumpang tiba pada sebuah konsensus sosial, yaitu muatan berlebih, agar kebutuhan semua pihak terpenuhi.
Apakah terpikir soal risiko kapal tenggelam? Tentu saja tidak. Yang dipikir adalah kebutuhan untuk tiba di tujuan.