Bicara soal hak keuangan Megawati, Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP) sebesar Rp 112,548,000 per bulan, atau nyaris dua kali lipat gaji Presiden Jokowi sebesar Rp 62,740,000 per bulan, orang cenderung punya penilaian minor.
"Tidak sepantasnya Megawati digaji sebegitu besarnya." Itu penilaian umum yang terujar. Dengan dalih negara sedang dililit hutang besar, rakyat sedang tercekik oleh kenaikan harga-harga sembako, dan lain sebagainya. Ditambah dalih dalam bentuk pertanyaan retoris "Emang kerjanya apaan digaji segitu tingginya?"
Penilaian semacam itu sebenarnya tidak fair, karena beberapa alasan.
Pertama, perlu diluruskan bahwa hak keuangan Megawati itu bukan semata gaji bulanan. Komponennya menurut Menkeu Sri Mulyani meliputi gaji pokok Rp 5 juta, tunjangan Rp 13 juta, asuransi jiwa dan kesegatan Rp 5 juta, dan mayoritas sisanya biaya operasional.
Biaya operasional ini pasti besar, jika Megawati kerjanya benar. Karena harus membayar transportasi, komunikasi, rapat, narasumber, dan para staf ahli. Itu jelas tidak murah. Jika dihitung cermat, jangan-jangan Megawati malah nombok.
Kedua, hak keuangan Megawati itu, serta anggota Dewan Pengarah BPIP lainnya, adalah apresiasi terhadap kualitas persona. Megawati dan kawan-kawan adalah persona-persona dengan kualitas sesepuh bangsa.
Kualitas sesepuh bangsa itu dinilai dari kelayakan mereka sebagai panutan dalam hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. Karena kesetiaan mereka tanpa syarat kepada Pancasila dan UUD 1945, komitmen harga mati mereka pada keutuhan NKRI, wawasan kebangsaan mereka yang menjunjung kebinekaan, dan ketokohan mereka secara nasional dan internasional.
Ketiga, membanding hak keuangan Megawati selaku Ketua Dewan Pengarah BPIB dan Presiden Jokowi itu tidak relevan karena sifat tanggungjawab yang berbeda. Perhatikan bahwa gaji Presiden sebesar Rp 62.74 juta/bulan itu diatur oleh Undang-Undang (Nomor 7/1978) dan PP (Nomor 75/2000) serta Kepres (Nomor 68/2001). Artinya ikut ditentukan rakyat melalui DPR. Tapu harus diingat bahwa itu hanya besaran gaji bulanan. Belum termasuk dana taktis yang disebut Rp 2 miliar per bulan untuk membiayai kegiatan taktis presiden..
Sedangkan gaji Ketua Dewan Pengarah BPIP sebesar Rp 112.55 juta/bulan itu diatur dengan Perpres (Nomor 42/2018). Artinya ditetapkan dengan wewenang Presiden, setelah memperhatikan hitung- hitungan Menteri PANRB dan Menkeu, atas dasar level kestrategisan dan urgensi sebuah jabatan publik.
Nah, jika ada yang bilang BPIP tidak strategis dan tidak urgen, maka dia sungguh tidak paham besarnya ancaman pada idiologi Pancasila sekarang. Bukan hanya ancaman dari kelompok-kelompok "anti-Pancasila" di dalam negeri. Tapi terutama rongrongan ragam idiologi lain yang membentuk pola pikir anti-Pancasila pada generasi milenial Y dan terutama Z. Survei PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta misalnya mengidentifikasi adanya benih intolerasi pada Gen-Z dan besarnya peran medsos sebagai sumber pengetahuan keagamaan bagi generasu itu. Ini hanya satu contoh tantangan untuk BPIP.
Jadi jabatan Ketua dan Anggota Dewan Pengarah BPIP jelas sangat strategis dan urgen. Sebab ke tangan mereka penentuan masa depan bangsa dan negara ini untuk sebagian besar diamanatkan: apakah makin setia pada Pancasila atau makin jauh lari dari Pancasila?