Saat Bassem Wahba, pengacara asal Mesir, bilang akan menuntut kapten Real Madrid, Sergio Ramos, sebesar Rp 16 triliun karena telah menciderai Mohamed Salah pada partai final Liga Champions 2018 pada 26 Mei lalu, mungkin dia merasa sedang menggugat sebuah tragedi.
Sebabnya, Mo Salah, kebanggaan internasional untuk rakyat Mesir itu, karena cidera bahunya akibat dijatuhkan Ramos, harus keluar berurai air mata dari lapangan dan gagal member gol kemenangan untuk Liverpool, sekaligus euforia untuk warga Mesir.
Bahkan lebih tragis lagi, Salah terancam gagal berangkat ke Moskow memperkuat Timnas Mesir di ajang Piala Dunia dua minggu ke depan. Padahal di bahu Salah rakyat Mesir sudah terlanjur menumpukan mimpi mereka akan sebuah kisah sukses di ajang paling bergengsi itu.
Wahba lupa, atau mungkin tidak sudi menerima fakta, bahwa insiden Ramos-Salah di laga final itu bukan sesuatu yang direncanakan untuk menciderai Salah agar keluar dari lapangan dan nantinya tidak bisa juga berlaga di Piala Dunia.
Memang benar insiden itu sebuah kesengajaan. Sebab tidak ada sesuatu yang bersifat kebetulan dalam sepakbola profesional modern. Ramos sengaja bermain ekstra keras, sehingga melakukan pelanggaran profesional (professional foul) untuk mematahkan gerakan Salah merebut bola yang bisa saja berujung pada sebuah gol untuk Liverpool.
Jika insiden itu hendak dipahami sebagai sebuah tragedi, maka ia hanya boleh sebatas tragedi di pertandingan final Liga Champions Eropa antara Liverpool dan Real Madrid. Membawa masalah itu ke ranah hukum positif di luar lapangan sepak bola tak bisa lain kecuali menjadi sebuah komedi.
Sepakbola di bawah FIFA sudah punya "hukum"nya sendiri untuk menangani kasus-kasus semacam itu. Kalau hukum positif hendak digunakan untuk pelanggaran di lapangan, apa jadinya sepak bola. Nanti tindakan seorang penyerang merebut bola dari kaki seorang bek lawan bisa-bisa diadukan pula sebagai pasal pencurian. Bukankah itu komedi?
Lagi pula, perlu dipahami, tindakan keras dalam sepakbola untuk melindungi gawang sendiri atau bola di kaki adalah lumrah. Tindakan semacam itu bukan saja telah menyebabkan cidera pada pemain, tapi juga kehilangan nyawa. Itu adalah risiko yang sudah diperhitungkan, sehingga setiap pemain profesional, selain harus menguasai keahlian main keras, juga harus menguasai keahlian menyelamatkan diri dari teknik keras lawan.
Akan halnya Ramos, sudah sohor se-liga Eropa sebagai bek paling keras. Bahkan dinilai sebagai bek paling brutal yang pernah ada. Dia dijuluki "Raja Kartu Kuning", bahkan "Raja Kartu Merah", sebagai pengakuan atas kekejamannya di lapangan.
Karena itu setiap pemain liga Eropa, tak terkecuali Salah, harusnya sudah menguasai keahlian menghindar dari teknik keras (dan kejam) Ramos. Lionel Messi, penyerang Barcelona, adalah pemain yang terbilang kenyang dikerasi Ramos. Tapi Messi juga pemain yang kenyang meredam sekaligus mempecundangi Ramos sebelum menceploskan bola ke gawang Real Madrid. Aneh saja kalau Salah gak bisa belajar misalnya dari Messi.
Tapi sudahlah. Saya paham psikologi pendukung Liverpool, termasuk warga Mesir yang menjadi pendukung karena kehadiran Salah di tim itu. Harus ada yang disalahkan sebagai "kambing hitam" untuk sebuah kekalahan. Dan kambing hitam terburuk dalam kasus ini adalah Ramos.