Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Dikotomi "Partai Allah vs Partai Setan" Itu Fiksi yang Buruk

Diperbarui: 1 Mei 2018   21:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mau Partai Allah, mau Partai Setan, memangnya ada yang perduli nasib petani?" (Foto: tempo.co)

Ujaran dikotomis "Partai Allah vs Partai Setan" dari Amien Rais  mendapat banyak celaan  dari politisi dan khalayak yang berseberangan dengannya.

Banjir celaan  itu umumnya menggugat kategorisasi partai berdasar sifat "Allah" dan "Setan" seperti itu. Kapan Allah, atau Setan,  mendirikan partai politik? Bukankah anggota partai yang disebut Partai Allah itu ada juga yang berwatak "setan", misalnya koruptor? Bukankah anggota partai yang disebut Partai Setan itu juga umat  Allah?  Itu antara lain gugatan yang dilontarkan.

Namun gugatan semacam itu, walau dapat diterima akal sehat, sebenarnya  tidak  relevan. Mengapa? Karena dikotomi "Partai Allah vs Partai Setan" bukan simpulan faktual, yang berdasar amatan atas realitas sosial. Dengan kata lain, ia adalah sebuah  ujaran tanpa pijakan empiris.

Sebenarnya, kalau mau repot sedikit berpikir kritis,  dengan mudah kita bisa simpulkan  bahwa dikotomi "Partai Allah vs Partai Setan" itu adalah "fiksi  yang buruk.

Fiksi yang buruk? Ya, sebab beda pandangan dengan Rocky Gerung, tidak semua fiksi itu baik. Coba jawab jujur, kalau fiksi karya Anny Arrow itu baik, mengapa anak laki remaja perlu ngumpet untuk membacanya? Nah, saya sudah sebut satu contoh fiksi yang buruk.

Mengapa dikotomi "Partai Allah vs Partai Setan" itu fiksi yang buruk?  Karena dia tergolong produk pemikiran pseudo-saintik,  ilmiah semu atau palsu. Seolah-olah ilmiah, padahal "ngelmu".

Begini. Sejatinya dikotomi semacam itu merujuk pada metode "tipe ideal" (ideal types) ala Weberian (Max Weber).  Contoh, dikotomi birokrasi legal-rasional vs patrimonial adalah tipe ideal rumusan Weber. Tipologi itu didasarkan pada sejumlah karakter organisasi, antara lain tipe wewenang, hirarki, aturan, imbalan, promosi, relasi, dan lain-lain.

Berdasar sejumlah kriteria itu, Weber merumuskan birokrasi legal-rasional sebagai birokrasi yang berdasar aturan, impersonal, netral, hirarkis, dan rasional. Sebaliknya dengan birokrasi patrimonial. Tentu saja itu tipe ideal, tidak ada dalam realitas sosial.

Sekarang, coba periksa kriteria dikotomi "Partai Allah vs Partai Setan". Dikotomi ini didasarkan hanya pada satu kriteria tunggal: "pembelaan pada agama Allah". Kata Amien Rais, partai yang "membela agama Allah", hizbullah, adalah "Partai Allah". Sebaliknya, partai yang "tidak membela agama Allah", hizbusy syaitan, adalah "Partai Setan" ("Amin Rais Dikotomikan Partai setan dan Partai Allah", cnnindonesia.com, 13/04/2018).

Implisit, yang dimaksud Amien Rais sebagai "Partai Allah" adalah trio Gerindra-PAN-PKS (GAK), partai-partai "pembela agama Allah". Dan implisit pula partai-partai politik lainnya dimasukkan dalam kubu "Partai Setan", partai-partai yang "bukan pembela agama Allah". Sepintas dikotomi ini  tampak semacam "tipe ideal" ala Weberian, tapi sebenarnya bukan.

Alasannya, pertama, kriteria "pembela agama Allah" itu sejatinya bukan melekat pada satu partai saja, tapi pada semua partai politik di Indonesia. Sebab semua partai politik berazaskan Pancasila, yang memuat Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, semua partai politik Indonesia pasti "membela agama Allah" (bukan "agama Setan"), alias "Partai Allah".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline