Frasa "power tends to corrupt" dari Lord Acton saya pahami sebagai kecenderungan penguasa (pemegang kekuasaan politik) dan atau "orang dekat penguasa" menyalah-gunakan kekuasaan demi keuntungan atau kepentingan pribadi.
Bentuk penyalah-gunaan kekuasaan itu bisa berupa korupsi, penguasa mengambil hak publik untuk kepentingan pribadi. Bisa juga kolusi, penguasa bersekongkol dengan pihak tertentu mengambil hak publik untuk kepentingan kelompok. Atau nepotisme, penguasa mendahulukan kerabatnya dalam pemanfaatan hak publik.
Pemahaman atas frasa "power tends to corrupt" semacam itu hendak saya pakai sebagai acuan untuk menafsir kasus tindakan Ratna Sarumpaet menelepon Anies Baswedan, Gubernur Jakarta, sebagai respon Ratna atas tindakan petugas Dinas Perhubungan (Dishub) DKI menderek mobilnya yang (menurut Dishub) diparkir di tempat yang tidak diperuntukkan parkiran.
Pertanyaan analitisnya, apakah tindakan Ratna menelepon Anies dapat ditafsir sebagai gejala penyalah-gunaan kekuasaan? Dengan perangkat analisis interpretatif, saya akan coba jawab.
Pertama, terlebih dahulu harus dilihat struktur hubungan sosial-politik antara Ratna dan Anies. Dari pemberitaan sejak masa kampanye Pilgub DKI tahun 2016, dapat disimpulkan Ratna adalah salah seorang tokoh pendukung Anies. Bahwa Ratna punya nomor telepon Anies, dan bisa menelepon langsung (hotline?), itu bukti adanya relasi yang cukup intens antara Anies sebagai Gubernur dan Ratna sebagai Pendukung Gubernur. Jadi, struktur hubungannya adalah "penguasa dan orang-dekat-penguasa".
Kedua, dengan konteks struktur hubungan sosial-politik semacam itu, lalu perlu dilihat pola komunikasi yang terjadi dalam peristiwa "bertelepon" itu. Sumbernya adalah Ratna selaku "orang-dekat-penguasa", penerimanya adalah Anies sebagai penguasa Jakarta, pesannnya adalah "keberatan Ratna pada tindakan Dishub menderek mobilnya yang dinilai parkir di tempat yang tak seharusnya". Ratna menilai pemarkiran mobilnya tidak melanggar aturan, karena tidak ada tanda larangan parkir di tempat itu.
Intinya di sini, Ratna sebagai "orang-dekat-penguasa" meminta kepada Anies sebagai penguasa, agar petugas Dishub selaku bawahan Anies tidak menderek mobilnya karena tindakan parkirnya tidak melanggar peraturan. Tapi karena mobilnya tetap diderek, maka permintaannya yang kemudian "dikabulkan Anies lewat bawahannya" (bawahan yang menerima telepon dan menelepon balik Ratna) adalah pengembalian mobil ke rumah Ratna oleh petugas Dishub disertai permohonan maaf.
Ketiga, perlu dipastikan apakah mobil lain yang diderek oleh Dishub dari tempat yang sama atau sejenis juga dikembalikan kepada pemiliknya dengan cara yang sama seperti dialamu Ratna? Faktanya, ternyata hanya Ratna yang mendaoatkan perlakuan istimewa "mobil dikembalikan petugas Dishub ke rumah disertai permohonan maaf".
Mengapa hanya Ratna yang mendapat perlakuan istimewa? Jawabannya ada pada kehadiran satu faktor pembeda, yaitu "pemanfaatan akses pada penguasa/kekuasaan". Ratna punya akses pada Anies sebagai penguasa, dan dia memanfaatkan akses itu untuk kepentingan pribadinya. Orang lain tidak menghubungi Anies, mungkin karena tak punya akses, atau punya akses tapi tak memanfaatkan karena cukup tahu diri atau masih punya rasa malu. "Lha, urusan derek kok ya minta tolong pada Gubernur, iya kalo kita bener, kalau kemudian terbukti salah?"
Dengan tiga langkah analisis interpretasi atau tafsir di atas, bisalah disimpulkan adanya indikasi penyalah-gunaan kekuasaan dalam kasus "Ratna Menelepon Anies". Bentuknya condong pada kolusi yaitu "persekongkolan penguasa dan orang-dekat-penguasa dalam menggunakan kekuasaan sebagai sumberdaya publik untuk pemenuhan kepentingan individu".
Fakta bahwa Anies tidak berkomunikasi langsung dengan Anies, tetapi lewat bawahannya, tidaklah menggugurkan kesimpulan ini. Sebab bawahan Anies dalam kasus ini hanya berfungsi sebagai saluran (perantara) kekuasaan Anies, yaitu saluran perintah kepada pejabat Dishub untuk mengembalikan mobil Ratna disertai permohonan maaf.