Apakah beribadah di ruang terbuka ciri khas umat Kristiani? Bukan. Yesus sendiri berkata, jika kamu berdoa, naiklah ke loteng, kunci pintu dan jendela, lalu bicaralah pada Tuhan di situ.
Sejatinya, itu kritik Yesus pada cara beragama orang Farisi, yang gemar berdoa di pasar atau di persimpangan jalan, supaya orang melihat dan memujinya sebagai orang saleh.
Cara beribadah ala Farisi itu saya sebut sebagai gejala festivalisme dalam beragama, khususnya dalam menjalankan ibadah. Intinya di situ, katena sifatnya festival, maka ibadah itu bukan lagi ditujukan kepada Tuhan, tetapi ditunjukkan kepada manusia lain yang ditempatkan sebagai "penonton". Dengan harapan, "penonton" itu akan berdecak kagum, "Wah, hebat, ibadahnya megah!"
Itu sebabnya pada akhir rahun 2017 lalu, lewat sebuah artikel di Kompasiana ini, saya menolak pelaksanaan Perayaan Natal di Monas. Bagi saya, dengan tesis festivalisme agama tadi, pelaksanaan perayaan keagamaan Kristen, atau khususnya Katolik, di Monas adalah tindakan merendahkan nilai sakral ibadah Kristiani menjadi sekadar pertunjukan di lapangan.
Umat Katolik khususnya, dalam setiap peribadahan, tidak bisa lepas dari simbol-simbol keagamaan yang hanya akan bermakna penuh jika dihadirkan dalam ruang tertutup. Karena itu, Uskup KAJ Mgr. Ign. Suharyo dengan tegas mengatakan Umat Katolik tidak mungkin melaksanakan Perayaan Paskah di Monas. Perayaan di ruang terbuka itu akan mendegradasi nilai sakral ibadah Paskah, dengan segala simbol-simbolnya, mulai sejak Minggu Palma, Kamis Putih, Jumat Agung, sampai Sabtu Suci.
Organisasi PGI juga sejatinya tidak setuju Perayaan Paskah dilaksanakan di Monas. Tapi PGI tidak bisa melarang jika salah satu Gereja anggotanya melaksanakan Perayaan Paskah di Monas. Dan itulah yang terjadi, Gereja Bethel Idonesia (GBI) memilih untuk merayakan Paskah di Monas, pagi (04.00-08.00) pada hari Minggu (1/4/18) yang lalu.
Tentu saja GBI punya alasan-alasan sendiri untuk melaksanakan ibdah Perayaan Paskah di Monas. Yang jelas bukan alasan politik, kata Ketua Panitia Paskah GBI khusus di Monas itu. Entahlah, bagi saya, jika suatu perayaan keagamaan memerlukan restu (ijin) dari penguasa untuk dapat digelar di ruang publik, maka bagi saya perayaan itu sudah terdegradasi menjadi perayaan politis.
Sambutan Pak Anies, Gubernur Jakarta pada Perayaan Paskah di Monas itu terasa sebagai paradoks. Di satu sisi dua menyebut Pancasila, khususnya persatuan antar ragam kelompok warga bangsa ini. Tapi di lain sisi, ijin yang diberikannnya pada GBI untuk merayakan Paskah di Monas, sudah memantik perbedaan pendapat antar GBI dan PGI yang menjadi induk organisasinya.
Mungkin akan dimajukan dalih bahwa perbedaan pendapat itu wajar. Ya, memang wajar, tapi perlu diingat perpecahan dalam Tubuh Gereja Kristiani, menurut sejarahnya, berawal dari perbedaan pandangan. Sebenarnya, saya berharap Pak Anies selaku Gubernur yang punya itikad "mempersatukan rakyat" bisa mempertimbangan sejarah "perpecahan" itu. Tapi mungkin harapan saya terlalu berlebihan.
Mungkin ada yang mengajukan argumen pembelaan, bukankah Umat Katolik di Larantuka, Flores merayakan Paskah di jalanan? Bukankah hal semacam itu festivalisme juga? Jawabannya jelas, "Bukan!" Itu tradisi Perayaan Paskah khas Larantuka sana. Awalnya melibatkan seluruh warga kota/desa sekitar yang memang mayoritas Katolik.
Baru akhir-akhir ini Perayaan Paskah di Larantuka masuk dalam kalender wisata rohani. Memang, dengan menjadikannya "obyek wisata", ada kehawatiran juga tradisi Paskah di Larantuka akan terdegradasi menjadi sekadar festival. Tapi mudah-mudahan tidak begitu.