Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Mereguk Eksotisme Gunung Nona yang "Erotis" di Enrekang

Diperbarui: 28 Maret 2018   16:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Panorama Gunung Nona Bambapuang ke arah utara Anggareja Enrekang (Dokumentasi Pribadi)

"Kamu harus ke sini," pesan WA dari Ipa' Matius, ditempeli foto Gunung Nona, spot wisata Enrekang, Sulawesi Selatan. Ipa' Matius, rekan sesama petani, tinggal di Parepare, terbiasa lewat Gunung Nona jika pulang kampung ke Toraja.

Pesan itu dikirim dari Ipa' Matius kurang lebih setahun sebelum saya bersama isteri dan dua anak kami benar-benar menginjakkan kaki di lokasi Gunung Nona, suatu sore pada 25 Desember 2017 lalu.

Hari itu kami dalam perjalanan menuju Toraja, setelah kemarinnya numpang ikut Perayaan Malam Natal di gereja Katolik Santo Petrus Rasul di Parepare.

"Nah, itu Gunung Nona," seruku menunjuk ke arah sepasang puncak gunung di kejauhan, sebelah kanan jalan, selepas dua jam perjalanan mendaki ke Enrekang via "Kota Beras" Sidrap.

"Bukan, Pak, masih jauh," sahut Daeng Sahar yang berkonsentrasi penuh di belakang setir mobil. "Sok tau...!" sambar isteriku dalam nada geli, lalu tertawa lepas. Kedua anak kami tak kurang ngikiknya.

Yaah..., memang sok tahu. Atau jadi bego karena sedang suka-cita? Sebab dari cerita Ipa' Matius, saya tahu Gunung Nona di Enrekang itu konotasinya bukan "dua bukit" tapi "satu lembah". Maksud saya ..., sudah paham, kan?

Gunung Nona, setempat disebut Buntu Kabobong,  itu menampakkan citra "yoni", organ reproduksi perempuan. Konon, menurut legenda, gunung itu terbentuk  dari bagian bawah tubuh seorang putri raja lokal yang minggat dari rumah menghindari  "kawin paksa" (perjodohan), lalu akhirnya dipenggal jadi dua oleh seorang prajurit yang khianat.

Itu sebuah legenda emansipatoris dengan akhir tragis. Tapi pesannya saya kira justru anti-emansipasi: "Kalau kamu menolak kawin dengan lelaki pilihan Bapak, maka kamu akan menjadi  Buntu Kabobong karena telah durhaka." Barangkali, pada  zamannya, pesan ini cukup efektif menakuti anak gadis, sehingga tunduk menerima lelaki pilihan orangtuanya sebagai suami. "Iya deh, Pa, aku mau...," begitu mungkin jawab si gadis, sambil berharap jodohnya itu Aliando.

"Sudah sampai di Gunung Nona, Pak," pemberitahuan dari Daeng Sahar. Mobil menepi ke kanan, ke parkiran sebuah caf yang dibangun persis di bibir jurang.  "Harus bayar Rp 2,000 per orang kalau mau fotoan di anjungan pandang caf," kata anak sulung kami yang sudah turun duluan dari mobil. Ya sudah, bayar Rp 10,000 untuk berempat.

Sudah pasti, dari anjungan pandang, obyek pertama yang saya cari adalah citra "yoni" pada Gunung Nona. Tidak langsung nyata di mataku. Butuh niat tulus dan pikiran bersih agar dapat melihatnya, atau setidaknya mengasosiasikan suatu komposisi gundukan pada lereng gunung itu sebagai "yoni".

"Nah, itu dia," seruku dalam hati, sambil memandangi dua gundukan yang membentuk citra wajik dengan satu gundukan lain membelahnya jadi dua. Sejatinya, jika merujuk pada topik anatomi dalam pelajaran Biologi, saya tidak yakin bahwa itu citra "yoni". Tapi sudahlah, itu tafsir budaya lokal atas topografi lereng sebuah gunung, dan layaklah diapresiasi nilai erotisme yang disematkan pada komposisi gundukan-gundukan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline