Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Bersua "Manusia Posthistoris" di Gua Prasejarah Leang Leang

Diperbarui: 16 Maret 2018   20:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lukisan Telapak Tangan dan Babi Rusa Tertusuk Panah di Dinding Gua Prasejarah Leang Leang Maros (Dokumentasi Pribadi)

Untunglah saya kebelet kencing saat memasuki areal parkiran Gua Prasejarah Leang Leang, Maros, Sulawesi Selatan. Jadi bisa ketemu seorang pemandu gua di situ.

"Mau lihat gua, Pak?" tanya daeng penghuni pos jaga yang kamar mandinya saya pinjam pakai. "Pintunya dikunci. Tapi kalau Bapak mau, saya bisa bukakan sekalian pandu," tawarnya sebelum saya sempat jawab.

"Oke, daeng, ayo kita jalan," jawab saya tanpa pikir panjang lagi. Tak ingin terulang pengalaman mengunjungi gua makam Ketu Kese dan Londa, juga pohon makam bayi Kambira, di Toraja, tanpa jasa pemandu.

Maka dipandu Pak Daeng, saya bersama isteri dan kedua anak kami, menyusuri jalan setapak beton membelah hamparan taman karst menuju lokasi Gua Leang Leang, di tebing bukit karst yang menjulang.

"Apakah batu-batu ini asli begini, atau diambil dari tempat lain, Daeng?"

Itu pertanyaan terbodoh yang keluar dari mulut saya hari itu, 30 Desember 2017. "Ooo, ini batu-batu karst asli, Pak," jawab Pak Daeng tersenyum puas sambil menunjuk onggokan-onggokan karst beraneka rupa unik di taman itu.

"Itu, batu-batu di sungai itu dulu sempat dijarah para pencari akik," lanjut Pak Daeng, saat kami melintasi jembatan kecil di atas sungai yang mengalir di dasar tebing Gua Leang Leang.

Saya kira mereka itu bukan pencari tapi pencuri akik. Dilarang mengambil apapun dari lokasi Gua Leang Leang. Sebab gua ini masuk ke dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung.

Sebelum menanjak ke arah gua, di sebelah kanan di kaki tebing, ada sebuah gua besar yang teduh. Walah, di ceruk gua itu, pada bangku semen, sepasang muda-mudi sedang duduk berkasihan. Sang Pemudi menyender mesra di dada Sang Pemuda yang merengkuhnya.

Pasangan itu tak risih dengan kehadiran kami. Kami yang risih, sehingga saya berpikir mereka adalah manusia posthistoris. Manusia yang sudah melampaui sejarah kekinian, sehingga tak lagi menganut nilai-nilai kepatutan "zaman now" di ruang publik.

Sudahlah, lupakan saja manusia posthistoris itu. Kami kini menaiki tangga besi menuju mulut gua dan Pak Daeng sudah membuka pintu masuk. Ternyata ada sekitar 10 orang pengunjung lain yang sedari tadi tertahan di pintu itu. Beruntung kami datang bersama "kuncen", sehingga mereka bisa ikut masuk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline