Apresiasi layak diberikan pada Pak Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, karena telah mengizinkan gelaran Djakarta Warehouse Project (DWP) 2017 di JIExpo Kemayoran, tanggal 15-16 Desember ini.
Pak Anies tidak mundur selangkahpun, kendati ormas Bang Japar Indonesia, FPI Kemayoran, Forkabi Kemayoran, dan Paguyuban Warga Betawi menentang dan mendemo pagelaran DWP 2017. Ormas-ormas itu minta agar Pak Anies tidak mengizinkan pelaksanaan DWP 2017 dengan alasan dapat merusak moral bangsa.
Memang sudah tepat jika Pemerintah tidak tunduk begitu saja pada tuntutan ormas-ormas. Sekalipun itu ormas yang teridentifikasi sebagai pendukung Pemerintah, dan sekalipun mengatasnamakan kepentingan umum atau bahkan kepentingan bangsa dan negara.
Perlu diingat kepentingan ormas itu selalu bersifat ekskusif, tapi memang tidak boleh bertentangan dengan kepentingan bangsa dan negara. Jadi hak ormas menyuarakan tuntutannya, karena dijamin undang-undang, tapi hak Pemerintah juga untuk menolak tuntutan itu.
Keputusan Pak Anies itu jelas mencerminkan hasil olah kecerdasan sosial yang tinggi. Cerdas karena tidak menerima begitu saja argumen "merusak moral bangsa" yang dilontarkan ormas-ormas anti-DWP.
Dengan latar sosial akademisi yang melekat padanya, bisa diduga Pak Anies tidak akan menerima kesimpulan etnosentris dari ormas-ormas itu. Dikatakan etnosentris karena ormas-ormas itu menyimpulkan DWP 2017 dapat "merusak moral bangsa" berdasar ukuran moral yang mereka rumuskan sendiri.
Alasan "DWP dapat merusak moral bangsa" menjadi sesuatu yang harus ditolak karena ormas-ormas anti-DWP itu tidak punya argumen.
Pertama, ormas-ormas itu tak mengungkap seperti apa itu "moral bangsa" sehingga tak bisa diuji validitas dan reliabilitasnya.
Kedua, ormas-ormas itu tak menyebut bagian mana dari "moral bangsa" yang akan dirusak DWP dan dengan cara bagaimana akan dirusak.
Ketiga, ormas-ormas itu tak memiliki bukti empiris bahwa DWP (terdahulu) telah merusak moral bangsa.
Event DWP adalah ekspresi suatu sub-kultur khas generasi milenial yang saya sebut "e-kultur". E-kultur adalah suatu sub-kultur yang menempatkan perangkat elektronik-digital sebagai "inti budaya". Fungsi perangkat elektronik-digital itulah yang menjadi pemersatu sekaligus penghubung antar warga pendukung e-kultur tersebut.