Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Mungkin ini Pribumi yang Dimaksud Pak Anies Baswedan

Diperbarui: 18 Oktober 2017   14:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Kompas.com

Kelemahan serius Pak Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta kini, menurut hemat saya, terletak pada kegandrungannya beretorika.

Menjadi kelemahan karena retorika lazimnya berhenti pada tataran ujaran atau diskursus, sementara Pak Anies selaku gubernur harus berada pada tataran  implementasi.

Retorika, seperti telah dibuktikan Pak Anies sendiri, bisa menjadi kekuatan pada tahap kampanye, untuk memenangi kontestasi. Dan tidak ada keharusan mengimplementasikan janji kampanye, justru karena konteks keberlakuannya adalah kampanye, bukan pelaksanaan APBD.

Maka, ketika seseorang sudah berada pada posisi gubernur, retorika mestinya disingkirkan. Pak Anies agaknya sulit menyingkirkannya, sehingga pada hari pertama menjadi Gubernur Definitif DKI Jakarta, sudah melontarkan retorika "saatnya pribumi menjadi tuan di rumah sendiri". Seolah-olah Pak Anis masih berada di tahap "kampanye".

Saya tidak hendak masuk ke dalam perdebatan etik tentang ujaran "pribumi" itu. Sudah banyak yang menafsirnya sebagai ujaran "devide et impera", memecah-belah, pengkotak-kotakan, atau bahkan anti-Pancasila, rasis, atau setidaknya primordialis. Tafsir yang berangkat dari suatu preposisi bahwa Pak Anies memenangi kontestasi Pilgub DKI karena sukses menggoreng isu SARA. Preposisi yang mungkin saja tidak sahih, jika memeriksa fakta komposisi pemilihnya berdasar identitas SARA.

Terkait itu, saya hanya ingin mengulang nasihat Pak Anies sendiri kepada Pak Ahok dulu, "Hati-hati dengan kata-kata". Pak Ahok kurang hati-hati, maka dia harus membayarnya sekarang 2 tahun dalam penjara. Pak Anies tentu tak sudi ikut menemani Pak Ahok di sana.

Selebihnya, saya berfikir positif saja tentang retorika "pribumi" yang dilontarkan Pak Anies itu. Dasarnya adalah fakta bahwa struktur masyarakat kolonial memang masih terbaca jelas pada masyarakat Jakarta. Dari segi kemakmuran sosial-ekonomi, secara rata-rata, golongan Eropa (mewakili juga AS dan Australia) masih berada di lapisan atas (kaya), Timur Asing (khususnya Arab dan Tionghoa) di lapisan tengah, dan Pribumi di lapisan bawah (miskin).

Secara pukul rata, saya menafsir "pribumi" yang dimaksud Pak Anies adalah mayoritas lapis bawah warga Jakarta. Warga miskin, absolut maupun relatif, yang sulit mentas ke lapis atas, karena kendala struktural. Tanpa pandang latar SARA, pemilih atau bukan pemilihnya, pendek kata warga lapis bawah.

Karena menyebut "kolonialisme", maka bisa diduga, Pak Anies menyimpulkan kemiskinan warga Jakarta bersifat struktural. Artinya struktur sosial menjauhkan akses mereka terhadap kekuasaan, modal, kesempatan kerja, pendidikan, kesehatan, perumahan, upah layak, dan sebagainya. Persis seperti yang dialami pribumi di masa kolonial dulu.

Saya pikir, itulah yang melandasi retorika kampanye Pak Anies dulu terkait OKE-OCE, Rumah DP 0%, Dana  Rp 1-3 M per RW, KJP Plus dan KJS Plus, Bantuan Usaha Mandiri Perempuan, dan sebagainya. Intinya, menerobos kendala struktural, untuk mendekatkan akses warga lapis bawah kepada lapangan kerja/usaha, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Ini bukan pemihakan, tapi pengadministrasian keadilan sosial.

Karena pengadministrasian keadilan sosial, maka ada prioritas program untuk lapisan warga lemah, tanpa menghambat hak lapis atas untuk tumbuh berkembang. Bukan hak warga lapis atas yang dirampas dan diberikan pada lapis bawah. Tapi kendala struktural yang dibangun warga lapis atas itulah yang dijebol pemerintah, sehingga akses warga lapis bawah terhadap sumber-sumber kemakmuran meningkat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline