Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Belajar Ekonomi Lokal di Pasar Tradisional

Diperbarui: 8 Agustus 2017   00:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana pasar tradisional (Foto: detik.com)

Mengunjungi pasar tradisional? Apa bagusnya. Begitu mungkin reaksi orang kebanyakan. Becek, kotor, bau, sesak, berantakan, riuh. Siapa yang tahan?

Siapa yang tahan? Banyak. Terbukti pasar-pasar tradisional di kota-kota kecamatan dan kabupaten di Jawa dan Luar Jawa yang pernah saya kunjungi selalu ramai. Berarti banyak yang tahan, bukan?

Saya adalah satu dari banyak orang yang betah berlama-lama mengitari dan mengamati pasar tradisional. Sering tidak membeli apapun. Hanya berkeliling mengamati. Lalu pulang dengan sebuah pengetahuan baru.

Pengetahuan baru? Begitulah. Saya akan coba jelaskan secara singkat.

Jika kita berkeliling pasar-pasar tradisional di kota-kota kecamatan misalnya, dan sebaiknya pada hari pasar besar, kita akan temukan tata-letak yang sepola. Lazimnya pasar tradisional terbagi atas  dua lokasi besar, yaitu bagian makanan dan non-makanan.

Lokasi makanan masih terbagi tiga. Ada lokasi makanan basah (daging, ikan segar), semi-basah (sayuran, buah-buahan, bumbu segar, dll.), dan kering (biji-bijian, telur, bumbu kering, gula, garam, dll.).

Sedangkan lokasi non-makanan terdiri dari bagian sandang (pakaian, kain, alas kaki, tutup kepala, dll), perabot rumahtangga (peralatan masak, alat pembersih, wadah, lampu, dll.),  perlengkapan sekolah ( buku tulis, alat tulis, tas sekolah, dll), dan peralatan kerja (pertanian, pertukangan, kantoran, dll.).

Pengetahuan pertama yang langsung diperoleh dari berkeliling pasar tradisional adalah potensi ekonomi lokal. Pada bagian pasar makanan misalnya dapat diketahui jenis-jenis hasil bumi utama yang diperjual-belikan. Berdasar itu maka dapat dibuat kesimpulan sementara tentang struktur ekonomi pertanian setempat.  

Begitulah, dengan berkeliling pasar tradisional di Kabupaten Kerinci, segera kita tahu daerah itu adalah sentra kayu manis. Dengan berkeliling di pasar tradisional Kabupaten Ende, segera kita tahu daerah itu penghasil kacang mete. Dengan berkeliling pasar tradisional di Gayo NAD, kita bisa tahu daerah itu penghasil kopi.

Pengetahuan kedua adalah tentang pertukaran komoditas antar desa di daerah. Yang paling menonjol adalah pertukaran komoditas antara desa pantai dan desa gunung. Warga  gunung membeli ikan yang dijual warga pantai. Sebaliknya warga pantai membeli sayuran dan buah-buahan yang dijual warga pantai. Pertukaran semacam ini bisa disaksikan misalnya di pasar tradisional Balige, Toba-Samosir.

Selanjutnya bisa diamati gejala penetrasi produk kota yang berusaha mematikan produk desa. Di pasar tradisional Tigaraja, Simalungun akhir 1960-an sampai awal 1970-an saya bisa mengamati penetrasi produk-produk berbahan dasar plastik. Ember plastik menggusur dominasi ember kaleng. Keranjang plastik menggeser dominasi  keranjang rotan. Piring dan cangkir plastik menjadi alternatif piring dan cangkir kaleng. Terpal plastik menggeser dominasi tikar pandan atau mendong. Kue-kue kalengan menyaingi kue-kue tradisional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline