Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

"Ndeso" Itu Tipe Ideal

Diperbarui: 11 Juli 2017   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Orang desa tanam padi bukan berarti "ndeso" (Foto: Dokpri)

Kendati sudah dinyatakan tidak ada unsur pidana, sesuai standar prosedur penanganan perkara, hari ini kasus ujaran "ndeso" Kaesang Pangarep akan memasuki tahap gelar perkara di Polrestro Bekasi. Berdasar hasil gelar perkara itu, akan diputuskan secara resmi, apakah kasus itu dilanjutkan atau tidak ke tingkat penyidikan.

Walau hasil gelar perkara itu sudah bisa diduga, yaitu kasus dihentikan, tetap menarik membahas soal ujaran "ndeso" ini. Tanpa bermaksud mempengaruhi hasil gelar perkara, karena hasilnya sudah ada, saya akan tunjukkan bahwa ujaran "ndeso" itu sebenarnya adalah "tipe ideal" a'la Weberian.

Dengan "tipe ideal" dimaksudkan adalah abstraksi konseptual atau teoritis tentang suatu gejala sosial.  Misalnya, C. Geertz memilah orang Jawa ke dalam tiga tipe ideal yaitu santri (orientasi agama), priyayi (orientasi kekuasaan/pemerintahan), dan abangan (orientasi ekonomi/bisnis). Faktanya tidak ada tiga kategori distingtif seperti itu. Itu hanya tipologi yang menunjuk pada penciri utama pada kelompok sosial Jawa tertentu.

Begitupun dengan konsep "ndeso". Itu adalah konsep "lokal", khas Jawa Indonesia. Ia adalah konsep yang lahir sebagai konsekuensi dari penerapan teori modernisasi lama dalam pembangunan Indonesia. Teori itu menggambarkan pembangunan sebagai evolusi  masyarakat dari "tradisional" menjadi "modern".

"Tradisional" dan "modern" adalah tipe ideal masyarakat. "Tradisional" menunjuk pada masyarakat yang "terbelakang, tertutup, wawasan sempit, dan orientasi masa lalu". Sebaliknya "maju" menunjuk pada tipe masyarakat yang "maju, terbuka, wawasan luas, dan orientasi masa depan".

Membanding antar negara, dulu, masyarakat modern menunjuk pada "Barat/Utara" (Eropa Barat dan Amerika Utara). Sedangkan masyarakat tradisional menunjuk pada "Timur/Selatan" (Afrika, Asia, Amerika Selatan).

Membanding antar kelompok sosial dalam satu negara, masyarakat modern menunjuk pada "kota". Sedangkan masyarakat tradisional menunjuk pada "desa". Antropolog R. Redfield memetakaannya sebagai "tradisi agung" (kota) dan "tradisi kecil" (desa). Kota adalah acuan desa untuk modernisasi.

Tipologi desa sebagai komunitas "terbelakang, tertutup, wawasan sempit, dan orientasi masa lalu" itu, dalam konteks modernisasi di Indonesia lalu disebut "ndeso". Dalam prakteknya, istilah "ndeso" itu tak  menunjuk pada "orang desa" an sich. Tapi menunjuk pada karakteristik sosial terbelakang dan sebagainya itu. Maka orang yang "ndeso" bisa ditemukan di desa maupun di kota.

Maka kata "ndeso" bukanlah ujaran menghinakan, melainkan abstraksi sejumlah karakteristik sosial yang menunjuk pada status tradisional. Tradisional dalam pengertian teori modernisasi, yaitu terbelakang, tertutup, wawasan sempit, dan orientasi masa lalu. Ini karakter yang harus diubah menjadi sebaliknya yaitu modern.

Konsep "ndeso" itu kurang-lebih setara dengan konsep "samin", yang juga lahir dari konteks penerapan teori modernisasi di Jawa atau Indonesia umumnya. Ujaran "samin" juga bukan penghinaan pada komunitas Samin di pedesaan Jawa. Ujaran itu lebih menunjuk pada moda resistensi sosial, yang awalnya merujuk pada cara orang Samin menyatakan ketaksetujuannya pada penguasa. Semisal anekdot ini: disuruh Pak Camat memagari jalan desa dalam rangka 17 Agustus, maka jalan dipagar melintang, sehingga tak bisa dilewati.

Intinya, saya hendak tekankan, sebelum menyatakan suatu ujaran  sebagai penghinaan sebaiknya pelajari dulu dengan cermat asal-usul dan makna asli ujaran itu. Agar tidak konyol dan dipaksakan. Nanti malu sendiri.***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline