Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Orang "Batak Dalam" dan "Batak Luar", Apa Bedanya?

Diperbarui: 11 September 2016   18:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cicak, simbol orang Batak (wikimedia.org)

Istilah 'Batak Dalam' dan 'Batak Luar' tidak ada dalam khasanah etnologi, antropologi, atapun sosiologi. Itu sepenuhnya istilah karangan saya. Untuk menggambarkan dikotomi orang Batak secara sosiologis.

Tapi harus saya akui, penggunaan dikotomi 'dalam' dan 'luar' bukan hal yang sepenuhnya baru. Antropolog Clifford Geertz telah menggunakan dikotomi 'Indonesia Dalam' dan 'Indonesia Luar' untuk membedakan ekologi budaya sawah (umumnya Jawa) dan budaya perladangan (umumnya Luar Jawa).

Dikenakan pada etnis tertentu, kita tahu ada dikotomi Baduy Dalam dan Baduy Luar. Itu untuk membedakan kelompok Baduy yang tinggal sebagai pelestari budaya asli di kampung asli, dan kelompok Baduy yang tinggal di luar kampung asli, karena adanya batasan ekologi budaya terkait jumlah keluarga di kampung asli. Dikotomi ini sekaligus mencerminkan perbedaan karakter budaya: Baduy Dalam 'tertutup', Baduy Luar 'terbuka'.

Pengenaan dikotomi 'dalam–luar' pada orang (etnis) Batak (Toba) harus dirujuk ke proses sosiologis pembentukan masyarakat Batak. 

Ambil contoh Desa (Huta) Nainggolan, Samosir. Ini adalah desa (tanah) milik dan wilayah kekuasaan marga Nainggolan, sebagai 'marga raja' yang meraja (memerintah) di situ, disebut Raja Huta.  Artinya, kaum bermarga Nainggolan adalah Batak Dalam di di situ.

Jika ada warga marga lain, misalnya Sinaga, yang diterima tinggal di desa Nainggolan itu, maka orang itu diposisikan sebagai orang luar. Dia tidak punya hak milik tanah dan hak memerintah di situ. Dengan begitu dia tergolong Batak Luar.

Tapi bukan itu kelompok Batak Luar yang terpenting, tapi kelompok orang  Batak yang membuka kampung baru di luar kampung asli/asal, disebut 'parserahan' (perantauan) orang Batak.

Pada awal mulanya, perantauan itu terjadi di wilayah Tanah Batak sendiri. Dari kampung asli ke wilayah baru yang masih kosong. Demikian berlangsung terus hingga orang Batak (Toba) menyebar dari Toba/Samosir ke selatan (Angkola), utara (Simalungun), timur (Asahan), dan  barat (Dairi). Sejak tahun 1920-an diaspora Batak mulai merambah daerah Deli/Medan dan kemudian Batavia/Jakarta atau Jawa umumnya.

Motif merantau adalah pencarian ruang hidup baru yang lebih baik, karena daya dukung sosial dan ekonomi pertanian (sawah lembah) Toba yang telah mencapai ambang. Ini seperti Baduy yang mengirim kelebihan penduduknya ke luar Desa Baduy Dalam. Mekanisme merantau semacam itu menghindarkan orang Batak dari perangkap involusi pertanian, gejala berbagi kemiskinan ala petani Jawa menurut Geertz.

Khas perantau Batak, khususnya ke Deli/Medan dan Jawa adalah orang-orang pilihan, dalam arti terpelajar dan atau punya daya saing. Kurang lebih semacam brain drain, sehingga ada dugaan yang tertinggal di Tanah Batak adalah warga kelas dua.

Dalam perkembangannya kelompok perantau itu banyak yang sukses secara sosial, ekonomi, dan politik. Sebagian adalah tokoh-tokoh pemerintah, militer, polisi, pengusaha, politik, ilmuwan/intelektual,  dan hukum tingkat regional, nasional, dan internasional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline