Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Brexit, Etika Mudik dan Lebaranisme

Diperbarui: 5 Juli 2016   22:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Brexit, nama keren Brebes Exit untuk tol Pejagan-Brebes Timur, dengan momok kemacetannya yang teramat parah, hari-hari ini telah membuka jendela untuk melihat  adanya etika mudik yang berelasi dengan ekonomi Lebaranisme.

Dengan etika mudik dimaksudkan adalah etos dasariah. Itulah nilai utama yang menerakan makna pada ritus mudik, sebagai sebuah gejala sosial.  

Nilai utama mudik, termasuk mudik Lebaran, sejak dulu hingga kini, adalah rekonsiliasi total. Sifatnya menyeluruh: teologis, sosiologis, ekonomis, budaya, dan politis. 

Intinya, mudik adalah proses perdamaian dengan Tuhan dan sesama, khususnya kerabat dan tetangga sekomunitas. Juga proses jumbuh ekonomi, budaya, dan politik antara "rantau" (hilir/kota/maju) dan "asal" (udik/desa/tertinggal).

Implikatif, rekonsiliasi dalam mudik itu sesungguhnya bermakna sebagai puncak pernyataan kembali eksistensi pemudik di dalam komunitas asalinya. Secara teologis, sosiologis, ekonomis, budaya, dan politis sekaligus.

Pernyataan kembali eksistensi itu, dalam prakteknya, berimplikasi reposisi sosial, penempatan ulang posisi pemudik dalam komunitasnya. Reposisi dengan ekspektasi peningkatan dari tahun ke tahun. Dinyatakan obyektif dengan nilai zakat. Atau secara simbolik dengan sarana mudik: tahun ini motor, tahun depan mobil rental.

Karena itu bagi perantau, penghilir ke rantau "asing", mudik menjadi sesuatu yang eksistensial.  Mudik berarti eksis secara sosial, dianggap "ada" oleh komunitas asalinya. Tidak mudik berarti tidak eksis, dianggap "tidak ada".

Demi eksistensi sosial itu, berikut ekspektasi peningkatannya, mudik kemudian menjadi laku asketis, "bersakit-sakit demi kebaikan nanti" bagi perantau. Laku asketis yang dilakoni sepanjang tahun, sehingga mudik sejatinya bukanlah gejala temporal melainkan siklus annual.

Pada kasus mudik Lebaran, sebagai gejala annual, laku asketis mudik itu sesungguhnya sudah dimulai sejak hari pertama setelah Lebaran. Untuk kemudian berakhir tepat pada hari Lebaran.

Setahun penuh "bersakit-sakit" demi eksistensi sosial. Maka terjebak macet belasan bahkan puluhan jam di Brexit, bagi "pemudik sejati" adalah bagian dari laku asketisme itu. "Horor" kemacetan Brexit, harus dilewati apapun ongkosnya, karena hal itu akan menambah bobot asketisme, dan nilai tambah untuk eksistensi sosialnya. Tak ada jalan mudah untuk sebuah eksistensi.

Macet Brexit, bagi pemudik Lebaran, sesungguhnya hanyalah kerikil kecil dalam perjalanan setahun menuju rekonsiliasi total, pernyataan kembali eksistensi sosialnya, pada tingkatan yang lebih tinggi, sekurangnya dalam satu aspek kehidupannya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline