Istilah “tragedi solidaritas” di sini menunjuk pada gejala praktek solidaritas sosial yang salah sasaran. Artinya subyek solidaritas tak selayaknya mendapatkan dukungan solidaritas. Subyeknya sebenarnya tak bermasalah secara ekonomi, tapi kemudian kekuatan solidaritas mengalirkan dukungan ekonomi padanya, sehingga membuatnya semakin sejahtera, sementara orang lain yang sesungguhnya lebih memerlukan bantuan malah tidak mendapat apa-apa.
Ini memang bukan istilah yang genuine. Saya terinspirasi konsep “tragedi pemilikan bersama” (G. Hardin). Konsep yang menjelaskan keserakahan setiap orang untuk mengambil manfaat dari sumberdaya (alam) milik bersama, tanpa perduli kepentingan orang lain, dan tanpa perduli kelestariannya. Buntutnya, sumberdaya (alam) terkuras, rusak, dan tak ada lagi yang bisa diambil.
Jadi, tragedi solidaritas (sosial) itu kurang lebih merupakan kebalikan dari tragedi pemilikan bersama (atas sumber daya). Tapi saya tak ingin membahas soal teoritis ini lebih jauh. Bikin pusing kepala nanti.
Saya langsung saja mendiskusikan gejala “tragedi solidaritas” itu dengan mengemukakan dua kasus. Kedua kasus itu bersangkut paut dengan gejala solidaritas sosial melalui media sosial. Dan, memang, “tragedi solidaritas” itu, sejauh saya amati, terjadi di media sosial.
Kasus Kakek “Winnie the Pooh” Suaedi, Sidoarjo
Masih ingat kasus kakek “Winnie the Pooh” Suaedi di Sidoarjo, Jawa Timur tahun 2015 lalu? Awalnya adalah reportase radio Suara Surabaya yang mengisahkan nasib “malang” Suaedi lewat fans page FB. Dikisahkan, berdasar pengakuannya, Suaedi (70) berasal dari Driyorejo-Gresik, miskin, stroke, dan sebatang kara. Sehari-hari dia mencari nafkah di jalanan Sidoarjo, sebagai badut dalam kostum beruang Winnie the Pooh.
Kisah ini mengundang simpati/empati dari ratusan ribu netizen, dan bersamaan dengan itu arus “sedekah” menderas kepada Suaedi. Tapi kisah itu menjadi antiklimaks ketika Dinsosnakertrans Sidoarjo, yang bermaksud membantu, mengungkap jati diri Suaedi. Ternyata dia berasal dari Mojokerto, punya 7 orang isteri dan 5 orang anak, tidak stroke, membadut dikawal isteri, penghasilan Rp 500,000/hari (Rp 15 juta/bulan), dan punya rumah bagus serta 2 unit sepeda motor.
Bandingkan “penghasilan” Suaedi dengan buruh industri yang bekerja keras secara fair minimal 8 jam/hari. Penerimaan Rp 15 juta/bulan, hasil eksploitasi solidaritas, sangat jauh di atas UMR Surabaya (Rp 2,588,000/bln) atau bahkan Jakarta (Rp 2,700,000/bln) tahun 2015.
Kasus Ibu “Warteg” Saeni, Serang
Bu Saeni adalah pengusaha warteg di kota Serang. Karena dia berjualan pada Bulan Ramadan, maka warungnya terkena razia Satpol PP (10/6/2016).
Ratapan Bu Saeni lantaran warungnya dirazia, yang menjadi viral di media sosial, berhasil memancing simpati dan solidaritas mengalir kepada Bu Saeni.
Seorang netizen menggalang donasi bantuan untuk Bu Saeni melalui media sosial. Hanya dalam tempo 36 jam, solidaritas netizen berhasil menghimpun dana sebesar Rp 265.5 juta. Dari jumlah itu, sebesar Rp 170.8 juta diserahkan ke Bu Eni. Sisanya dialokasikan untuk pengusaha warung makan yang terdampak serupa.
Kisah Bu Saeni juga berakhir anti-klimaks. Terungkap kemudian bahwa Bu Saeni bukan orang miskin, karena punya setidaknya tiga warteg di Serang, masing-masing di Tanggul, Kaliwadas dan Cikepuh. Menurut berita, dana sumbangan itu juga akan digunakan untuk biaya umroh Bu Saeni dan suaminya.