Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Pak Jokowi, Awas Krisis Suksesi Petani Pangan

Diperbarui: 10 Juni 2016   12:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(ME4JKW #004)

Artikel Faisal Basri, “Jumlah Petani dan Buruh Tani Menciut, Pindah ke Mana?” (K.9/2/2016), menimbulkan pertanyaan lanjutan. Kalau petani muda pindah ke sektor informal di kota, lantas akan bagaimana nasib suksesi petani kita? Soalnya, petani yang kini menghasilkan pangan nasional itu umumnya sudah berusia tua.

Agak berbeda dari Faisal Basri, di sini saya memang lebih mencemaskan kelangsungan pertanian pangan kita di pedesaan, ketimbang nasib migran muda asal desa di perkotaan. Betul itu masalah serius. Tapi masa depan pertanian pangan kita lebih serius lagi.

Ini menjadi semacam peringatan bagi Presiden Jokowi sebenarnya. Jika gejala krisis suksesi petani pangan itu tak ditangani serius, maka sulit berharap kedaulatan pangan bisa diwujudkan.

Indikasi krisis suksesi petani pangan itu sebenarnya sudah terbaca dari hasil Sensus Pertanian (SP) 2003 dan 2013. Dalam selang 10 tahun jumlah rumahtangga petani (rutani) pangan ternyata berkurang 5%, dari sebelumnya 18.7 juta menjadi 17.7 juta.

Di satu sisi penciutan jumlah petani pangan ini merupakan kabar “baik” karena memungkinkan peningkatan rerata penguasaan lahan dari 0.35 ha/rutani (2003) menjadi 0.86 ha/rutani (2013). Atau, khusus untuk sawah, dari 0.25 ha/rutani menjadi 0.66 ha/rutani. Artinya tingkat penguasaan lahan bergerak ke arah skala keekonomian (2.0 ha/rutani).

Tapi di sisi lain ia adalah kabar “buruk” karena, berdasar usia, komposisi petani tahun 2013 didominasi (87%) petani tua (35 tahun ke atas). Jumlah petani muda (di bawah 35 tahun) sangat kecil (13%). Ini adalah indikasi krisis suksesi petani pangan.

Data itu mengindikasikan gejala brain drain dalam pertanian pangan. Generasi muda yang relatif terdidik dan progresif, bermigrasi ke kota memasuki sektor industri dan jasa. Mereka meninggalkan pertanian pangan di tangan generasi tua yang relatif kurang terdidik dan konservatif.

Migrasi ke kota terutama dilakukan anggota muda rutani gurem (di bawah 0.25 ha). Dalam periode 2003-2013, hasil SP mencatat penurunan jumlah rutani gurem sebesar 25% dari 19.0 juta menjadi 14.2 juta. Akibatnya terjadi kelangkaan tenaga kerja pertanian, sehingga Kementan misalnya mencanangkan program traktorisasi.

Gejala krisis suksesi petani pangan itu sudah membawa sedikitnya empat implikasi serius. Pertama, penurunan jumlah populasi petani/rutani. Kedua, penurunan kualitas petani akibat brain drain akibat migrasi petani muda ke kota. Ketiga, penurunan luas baku usahatani pangan akibat suksesi terputus yang berlanjut ke alih-fungsi lahan. Keempat, resultan semua itu, pelandaian angka peningkatan produktivitas usahatani pangan.

Karena itu krisis suksesi petani pangan, khususnya padi sawah, adalah ancaman serius terhadap swasembada pangan. Misalkan 25% dari total rutani gurem (14.2 juta, SP 2013) memutus suksesi, lalu mengalih-fungsikan lahan ke non-pertanian, maka luas baku sawah akan berkurang sekitar 900,000 ha. Jika indeks pertanamannya 2 kali/tahun dan produktivitasnya 5.0 ton GKG/ha, maka i akan terjadi kehilangan gabah (GKP) 9.0 juta ton atau setara beras 5.7 juta ton. Jumlah ini lebih dari cukup untuk mengembalikan Indonesia menjadi negara pengimpor beras.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline