Dusun Portibi, terselip di salah satu sudut lembah Toba, Tanah Batak, di hari pertama Januari 1967 menjelang tengah hari.
Tuhan pasti sedang bermurah hati. Kontras dengan mendung hitam berujung hujan sehari suntuk kemarin, cuaca sangat bagus hari ini. Langit di atas Portibi membentang biru, cerah, nyaris tanpa awan. Sinar matahari sempurna menyiram bumi. Udara hangat menggairahkan.
Di tanah lapang dusun, di atas rerumputan hijau, sekelompok lelaki sedang menggenapi tradisi awal tahun. Mereka sedang marbinda, urunan menjagal ternak.
Tahun 1967 ini korbannya seekor babi tambun, sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Setiap keluarga akan mendapat jatah daging sesuai pesanannya, lalu diolah menjadi lauk pesta makan keluarga, untuk menyambut hari pertama Tahun Baru.
Setiap keluarga Portibi, miskin ataupun nyaris miskin, selalu pesta makan daging babi untuk menutup dan membuka tahun. Mereka perlu berdoa agar rejeki melimpah dalam setahun mendatang. Agar sinur pinahan gabe niula, ternak beranak-pinak dan tanaman melimpah-ruah hasilnya.
Begitulah cara orang Portibi, atau umumnya orang Batak Toba, menyambut Tahun Baru.
Orang Portibi umumnya tabu bertengkar, atau melakukan apapun yang berbau sengketa, dalam setiap momen pergantian tahun.
Tapi tabu itu rupanya tak berlaku bagi Poltak, Ronggur dan Barita. Tiga sekawan cilik penghuni Portibi ini justeru terbakar api sengketa di akhir tahun. Mengitari perapian, tempat memanggang babi bulat-bulat, mereka bersitegang urat leher.
”Satu! Pokoknya aku harus dapat satu!” teriak Ronggur, ngotot, sampai-sampai anak-anak ayam yang berkeliaran di sekitar kakinya terlonjak histeris. Urat-urat lehernya meregang bak akar-akar pandan liar.
”Aku juga!” sambar Barita melotot. Kedua biji matanya nyaris mencelat dari liangnya.
”Lalu, aku dapat apa?” Poltak memelas.