Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Andaikan Wafat Sekali Lagi

Diperbarui: 18 Desember 2015   22:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(HRM #114)

Tanggapan anak kecil terhadap peristiwa kematian bersifat unik. Orang dewasa mungkin berduka-cita, tapi anak kecil mungkin justru bersuka-cita.

Pengalaman Poltak waktu kecil dapat menjadi bukti. Kakeknya wafat saat dia baru menginjak kelas 3 SD. Waktu itu tahun 1970.

Poltak kecil tentu saja terpukul dengan kematian kakeknya. Ada kesedihan, lalu derai air mata.

Tapi di situ ada kesedihan, di situ pula ada penghiburan. Banyak anggota kerabat yang menghibur

Poltak. Caranya unik, membesarkan hati Poltak sambil memberi bonus uang serupiah (Rp 1,-) sampai seringgit (Rp 2.5,-).

“Bah, banyak kalilah duitmu itu, Poltak. Berapa semua?” tanya salah seorang pamannya yang juga memberikan uang serupiah.

“Tujuh ringgit, Tulang!” jawab Poltak sumringah, mendadak lupa duka-citanya. Uang memang bisa mengubah derai air mata menjadi derai tawa ria.

Tiga hari setelah masa izin duka-cita dari sekolah berakhir, Poltak kembali masuk kelas dengan pikiran mengawang. Tubuhnya ada di kelas, tapi pikirannya entah ke mana.

“Hei, Poltak. Cukup sudah duka-cita. Saatnya belajar lagi,” tegur Pak Oskar, gurunya.

“Iya, Pak Guru! Tapi saya tidak berduka lagi, Pak Guru,” jawab Poltak tersentak dari pikiran mengawangnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline