Lihat ke Halaman Asli

Felix Tani

TERVERIFIKASI

Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Dahlan Iskan dan Inersia Sosial di BUMN

Diperbarui: 1 Juli 2015   17:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Dari perspektif sosiologi, terbawanya Dahlan Iskan (DI), Menteri BUMN 2011-2014, menjadi tersangka korupsi dalam proyek pembangunan 21 unit gardu induk PLN, dapat diterangkan sebagai ekses “inersia sosial” (social innertia) dalam korporasi BUMN khususnya PLN.

Inersia sosial menunjuk pada gejala resistensi terhadap perubahan atau kecenderungan bertahan pada posisi lama (status quo). Diterapkan pada korporasi BUMN, inersia sosial menunjuk pada tendensi bertahan pada sistem lama, padahal kebijakan/programnya mempersyaratkan perubahan sistemik.

Gejala inersia sosial menyebabkan deviasi negatif, yaitu capaian lebih rendah dari target kebijakan/program. Deviasi itulah yang, dari sisi hukum, dilihat sebagai indikasi pelanggaran semisal tindak korupsi.

Di lingkungan BUMN, inersia sosial sebenarnya bukan spesifik PLN tetapi sudah menggejala di semua korporasi. Karena itu, untuk mencegah terulangnya kasus semacam “gardu listrik” itu, penting memahami mengapa inersia sosial terjadi dan bagaimana solusinya.

Diskresi vs Resistensi

Inersia sosial dalam korporasi BUMN dapat terjadi akibat antara lain kebijakan diskresi pimpinan di satu pihak dan sikap resistensi staf di lain pihak. Pangkal resistensi adalah keengganan birokrasi korporasi BUMN, yang terbiasa bekerja “normal”, untuk bekerja “abnormal” sesuai tuntutan diskresi.

Ambil kasus pembangunan 21 unit gardu induk PLN (2011-2013) sebagai contoh. Waktu itu (2011) DI mengambil langkah diskresi berupa percepatan pembangunan gardu demi mengatasi krisis listrik.

Langkah diskresi DI ternyata “menerobos” dua peraturan yang, jika dipatuhi, akan melambatkan pembangunan gardu. Pertama, DI menjamin bahwa pembebasan lahan sudah selesai, sebagai syarat pencairan dana tahun jamak oleh Depkeu, padahal sebenarnya akan dibebaskan bersamaan dengan pelaksanaan proyek. Kedua, DI tidak memberlakukan pembayaran proyek per kemajuan kerja, melainkan per material dengan maksud mempercepat proses pembangunan.

Langkah diskresi semacam itu menuntut disiplin dan kerja keras dari birokrasi PLN. Pertama, PLN harus mampu membebaskan seluruh lahan lokasi seiring proses pembangunan gardu. Kedua, PLN harus mampu membangun gardu tahap demi tahap seiring pembelian material. Dengan begitu dapat dipastikan seluruh gardu berdiri dan beroperasi begitu proyek berakhir (2013).

Rupanya birokrasi PLN bekerja di bawah standar tuntutan diskresi. Terbukti hanya 5 unit gardu yang selesai, 3 unit dikerjakan tanpa kontrak , dan 13 unit terbengkalai. Artinya terjadi deviasi negatif yang, ketika nilainya dihitung oleh Kejakti DKI Jakarta, mencapai Rp 33.2 milyar. Nilai ini dianggap kerugian negara yang diduga terjadi akibat moral hazard (korupsi) dalam proses pembangunan gardu.

Ketakmampuan PLN bekerja sesuai tuntutan diskresi menunjuk pada gejala inersia sosial. Harusnya PLN melakukan perubahan struktur/kultur untuk menciptakan iklim kerja keras dan disiplin tinggi. Misalnya membentuk “satuan tugas khusus” untuk mengawal pembangunan 21 gardu induk. Fungsinya antara lain memastikan pembebasan lahan, pembelian material, dan tahapan pembangunan gardu berlangsung secara simultan dan tepat waktu, sehingga tidak ada keterlambatan dan inefisiensi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline