Bisa dimaklumi kendati agak berlebihan. Itu kesan saya membaca artikel Niken Satyawati, "Doa agar Presiden Jokowi Dipanggil Yang Maha Kuasa di Twitter" (Kompasiana, 22/6/2015).
Sejatinya artikel itu menyambut launching versi baru akun twitter @jokowi (sebelumnya @jokowi_do2) selaku Presiden RI. Isinya sangat positif. Hanya saja, lantaran mengadopsi bunyi twit seseorang bernama Azfandra sebagai judul, ia lalu mengalami semacam "pendangkalan".
Azfandra, tampaknya pendukung fanatik Prabowo, men-twit begini: "Selamat ultah pak... Semoga cepet dipanggil yang maha kuasa pak @jokowi ... rakyat menunggu hal itu terjadi."
Itu respon Azfandra terhadap twit ajakan simpatik @Jokowi: “Alhamdulillah bisa sahur bersama keluarga. Selamat berpuasa saudaraku semua. Ini tweet pertama saya sebagai presiden. –Jkw” (20/6/2015)
Impaknya sudah bisa diduga. Para pendukung Jokowi langsung meradang mencerca Azfandra. Mulai dari yang mencelanya sebagai hater yang tak kunjung move on, hingga yang mengingatkannya bahwa doa yang buruk akan berbalik ke dirinya sendiri.
"Kemarahan" para pendukung Jokowi tentu bisa dimaklumi. Jamak kita marah, atau sedikitnya tersinggung, jika orang mengatakan apalagi mendoakan yang buruk tentang idola kita, bukan?
Tapi sekaligus juga "kemarahan" semacam itu agak berlebihan. Sebab sekarang ini bukan lagi masa kampanye Pilpres, sehingga tak relevan lagi "berbalas pantun" antar kubu pendukung capres.
Saya membayangkan, ketika Jokowi membaca twit Azfandra, dalam hati beliau membalas: "Terimakasih atas doanya. Tapi saya belum punya rencana meninggal dunia. Saya masih perlu hidup untuk kerja, kerja, kerja dengan Anda, agar kita beroleh hidup sejahtera dan panjang umur.”
Karakter Jokowi, saya pikir begitu. Selalu melihat sisi positif pada sebuah gejala, atau peristiwa, atau bahkan pada sepatah kata. Dari kacamata Jokowi, twit Azfandra dan yang sejenis itu akan terbaca sebagai sebuah kritik. Dan sebuah kritik, tanpa embel-embel konstruktif ataupun destruktif, akan dibaca sebagai sebuah pesan, agar Jokowi bekerja, bekerja, dan bekerja lebih keras, keras, dan keras lagi. Bersama rakyat, tentu saja!
Twit Azfandra adalah selarik baris ratapan putus asa, atas kondisi yang kini harus dihadapi rakyat. Ambil contoh ekonomi. Pertumbuhan ekonomi melambat (sehingga ada ancaman PHK). Inflasi meningkat (sehingga nilai rupiah makin rendah). Harga barang kebutuhan pokok melonjak (sehingga daya beli rakyat makin parah).
Masyarakat lapis bawah kini berjuang untuk bertahan hidup. Survival! Bagi mereka, pemerintahan Jokowi tak terasakan kehadirannya. Hidup semakin sulit. Jadi untuk apa ada Presiden RI? Maka, terucaplah umpatan dan sumpahan, lisan atau tulisan, seperti twit Azfandra.
Apakah Azfandra seseorang yang “berani mati”? Karena nekad men-twit begitu kepada Presiden-nya? Saya kira tidak. Tapi sangat mungkin dia, karena kesulitan hidup, menganut moral subsistensi. Ilustrasinya: karena tak punya sesuatu untuk dimakan, maka pilihannya adalah tidak mencuri lalu mungkin mati kelaparan, atau mencuri lalu mungkin mati juga dihakimi massa.